Selasa, 28 September 2010

MOLA HIDATIDOSA

A. Pengertian
Mola hidatidosa adalah chorionic villi (jonjotan/gantungan) yang tumbuh berganda berupa gelembung-gelembung kecil yang mengandung banyak cairan sehingga menyerupai buah anggur atau mata ikan. Karena itu disebut juga hamil anggur atau mata ikan. (Mochtar, Rustam, dkk, 1998 : 23)

Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka, vaskularisasi dan edematus. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. (Wiknjosastro, Hanifa, dkk, 2002 : 339).

Mola hidatidosa adalah perubahan abnormal dari villi korionik menjadi sejumlah kista yang menyerupai anggur yang dipenuhi dengan cairan. Embrio mati dan mola tumbuh dengan cepat, membesarnya uterus dan menghasilkan sejumlah besar human chorionic gonadotropin (hCG) (Hamilton, C. Mary, 1995 : 104).

B. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya adalah :
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati , tetapi terlambat dikeluarkan.
2. Imunoselektif dari tropoblast.
3. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah.
4. Paritas tinggie.Kekurangan proteinf.Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas.(Mochtar, Rustam ,1998 : 23)

C. Patofisiologi
Mola hidatidosa dapat terbagi menjadi :
1. Mola hidatidosa komplet (klasik), jika tidak ditemukan janin.
2. Mola hidatidosa inkomplet (parsial), jika disertai janin atau bagian janin.

Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblast :
• Teori missed abortion
Mudigah mati pada kehamilan 3 – 5 minggu karena itu terjadi gangguan peredarah darah sehingga terjadi penimbunan cairan masenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung.
• Teori neoplasma dari Park
Sel-sel trofoblast adalah abnormal dan memiliki fungsi yang abnormal dimana terjadi reabsorbsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehigga timbul gelembung.
• Studi dari Hertig
Studi dari Hertig lebih menegaskan lagi bahwa mola hidatidosa semata-mata akibat akumulasi cairan yang menyertai degenerasi awal atau tiak adanya embrio komplit pada minggu ke tiga dan ke lima. Adanya sirkulasi maternal yang terus menerus dan tidak adanya fetus menyebabkan trofoblast berproliferasi dan melakukan fungsinya selama pembentukan cairan.
(Silvia, Wilson, 2000 : 467)

D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa. Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran rahim lebih besar dari kehamilan biasa, pembesaran rahim yang terkadang diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam. Tanda dan gejala serta komplikasi mola :
1. Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10% pasien masuk RS.
2. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih besar).
3. Gejala – gejala hipertitoidisme seperti intoleransi panas, gugup, penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan berkeringat, kulit lembab.
4. Gejala – gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan tungkai, peningkatan tekanan darah, proteinuria (terdapat protein pada air seni).

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :
1. Serum ß-hCG untuk memastikan kehamilan dan pemeriksaan ß-hCG serial (diulang pada interval waktu tertentu).
2. Ultrasonografi (USG). Melalui pemeriksaan USG kita dapat melihat adakah janin di dalan kantung gestasi (kantung kehamilan) dan kita dapat mendeteksi gerakan maupun detak jantung janin. Apabila semuanya tidak kita temukan di dalam pemeriksaan USG maka kemungkinan kehamilan ini bukanlah kehamilan yang normal.
3. Foto roentgen dada.

F. Penatalaksanaan Medis
Penanganan yang biasa dilakukan pada mola hidatidosa adalah :
1. Diagnosis dini akan menguntungkan prognosis.
2. Pemeriksaan USG sangat membantu diagnosis. Pada fasilitas kesehatan di mana sumber daya sangat terbatas, dapat dilakukan : Evaluasi klinik dengan fokus pada : Riwayat haid terakhir dan kehamilan Perdarahan tidak teratur atau spotting, pembesaran abnormal uterus, pelunakan serviks dan korpus uteri. Kajian uji kehamilan dengan pengenceran urin. Pastikan tidak ada janin (Ballottement) atau DJJ sebelum upaya diagnosis dengan perasat Hanifa Wiknjosastro atau Acosta Sisson.
3. Lakukan pengosongan jaringan mola dengan segera.
4. Antisipasi komplikasi (krisis tiroid, perdarahan hebat atau perforasi uterus).
5. Lakukan pengamatan lanjut hingga minimal 1 tahun. Selain dari penanganan di atas, masih terdapat beberapa penanganan khusus yang dilakukan pada pasien dengan mola hidatidosa, yaitu : Segera lakukan evakuasi jaringan mola dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes per menit (sebagai tindakan preventif terhadap perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi terhadap pengosongan uterus secara tepat). Pengosongan dengan Aspirasi Vakum lebih aman dari kuretase tajam. Bila sumber vakum adalah tabung manual, siapkan peralatan AVM minimal 3 set agar dapat digunakan secara bergantian hingga pengosongan kavum uteri selesai. Kenali dan tangani komplikasi seperti tirotoksikasi atau krisis tiroid baik sebelum, selama dan setelah prosedur evakuasi. Anemia sedang cukup diberikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari, untuk anemia berat lakukan transfusi. Kadar hCG diatas 100.000 IU/L praevakuasi menunjukkan masih terdapat trofoblast aktif (diluar uterus atau invasif), berikan kemoterapi MTX dan pantau beta-hCG serta besar uterus secara klinis dan USG tiap 2 minggu. Selama pemantauan, pasien dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi hormonal (apabila masih ingin anak) atau tubektomy apabila ingin menghentikan fertilisasi.

KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan bagi klien.
Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :
1. Biodata : mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama, umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, perkawinan ke- , lamanya perkawinan dan alamat.
2. Keluhan utama : Kaji adanya menstruasi tidak lancar dan adanya perdarahan pervaginam berulang.
3. Riwayat kesehatan, yang terdiri atas :
o Riwayat kesehatan sekarang yaitu keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti perdarahan pervaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.
o Riwayat kesehatan masa lalu
o Riwayat pembedahan : Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami oleh klien, jenis pembedahan , kapan , oleh siapa dan di mana tindakan tersebut berlangsung.
4. Riwayat penyakit yang pernah dialami : Kaji adanya penyakit yang pernah dialami oleh klien misalnya DM, jantung, hipertensi, masalah ginekologi/urinary, penyakit endokrin, dan penyakit-penyakit lainnya.
5. Riwayat kesehatan keluarga : Yang dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.
6. Riwayat kesehatan reproduksi : Kaji tentang mennorhoe, siklus menstruasi, lamanya, banyaknya, sifat darah, bau, warna dan adanya dismenorhoe serta kaji kapan menopause terjadi, gejala serta keluahan yang menyertainya.
7. Riwayat kehamilan , persalinan dan nifas : Kaji bagaimana keadaan anak klien mulai dari dalam kandungan hingga saat ini, bagaimana keadaan kesehatan anaknya.
8. Riwayat seksual : Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi yang digunakan serta keluahn yang menyertainya.
9. Riwayat pemakaian obat : Kaji riwayat pemakaian obat-obatankontrasepsi oral, obat digitalis dan jenis obat lainnya.
10. Pola aktivitas sehari-hari : Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit, eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat sakit.

Pemeriksaan Fisik :
• Inspeksi
Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas pada penglihatan tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
Hal yang diinspeksi antara lain :
Mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan warna, laserasi, lesi terhadap drainase, pola pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan, bahasa tubuh, pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya keterbatasan fifik, dan seterusnya.
• Palpasi
Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh dengan jari.
o Sentuhan : merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu, derajat kelembaban dan tekstur kulit atau menentukan kekuatan kontraksi uterus.
o Tekanan : menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema, memperhatikan posisi janin atau mencubit kulit untuk mengamati turgor.
o Pemeriksaan dalam : menentukan tegangan/tonus otot atau respon nyeri yang abnormal.
• Perkusi
Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada permukaan tubuh tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau jaringan yang ada dibawahnya.
o Menggunakan jari : ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang menunjukkan ada tidaknya cairan , massa atau konsolidasi.
o Menggunakan palu perkusi : ketuk lutut dan amati ada tidaknya refleks/gerakan pada kaki bawah, memeriksa refleks kulit perut apakah ada kontraksi dinding perut atau tidak.
• Auskultasi
Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan stetoskop dengan menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang terdengar. Mendengar : mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan darah, dada untuk bunyi jantung/paru abdomen untuk bising usus atau denyut jantung janin. (Johnson & Taylor, 2005 : 39)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya nyeri.
4. Gangguan rasa nyaman : hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
5. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan

C. INTERVENSI
DIAGNOSA I
"Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan"
Tujuan : Klien akan meninjukkan nyeri berkurang/hilang
Kriteria Hasil :
• Klien mengatakan nyeri berkurang/hilang
• Ekspresi wajah tenang
• TTV dalam batas normal
Intervensi :
• Kaji tingkat nyeri, lokasi dan skala nyeri yang dirasakan klien.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan sehingga dapat membantu menentukan intervensi yang tepat.
• Observasi tanda-tanda vital tiap 8 jam
Rasional : Perubahan tanda-tanda vital terutama suhu dan nadi merupakan salah satu indikasi peningkatan nyeri yang dialami oleh klien.
• Anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi
Rasional : Teknik relaksasi dapat membuat klien merasa sedikit nyaman dan distraksi dapat mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri sehingga dapat mambantu mengurangi nyeri yang dirasakan.
• Beri posisi yang nyaman
Rasional : Posisi yang nyaman dapat menghindarkan penekanan pada area luka/nyeri.
• Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : Obat-obatan analgetik akan memblok reseptor nyeri sehingga nyeri tidat dapat dipersepsikan.
DIAGNOSA II
"Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan"
Tujuan : Klien akan menunjukkan terpenuhinya kebutuhan rawat diri
Kriteria Hasil :
• Kebutuhan personal hygiene terpenuhi
• Klien nampak rapi dan bersih.
Intervensi :
• Kaji kemampuan klien dalam memenuhi rawat diri
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kemampuan/ketergantungan klien dalam merawat diri sehingga dapat membantu klien dalam memenuhi kebutuhan hygienenya.
• Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
Rasional : Kebutuhan hygiene klien terpenuhi tanpa membuat klien ketergantungan pada perawat.
• Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuannya
Rasional : Pelaksanaan aktivitas dapat membantu klien untuk mengembalikan kekuatan secara bertahap dan menambah kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya.
• Anjurkan keluarga klien untuk selalu berada di dekat klien dan membantu memenuhi kebutuhan klien.
• Rasional : Membantu memenuhi kebutuhan klien yang tidak terpenuhi secara mandiri.
DIAGNOSA III
"Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya nyeri"
Tujuan : Klien akan mengungkapkan pola tidurnya tidak terganggu
Kriteria Hasil :
• Klien dapat tidur 7-8 jam per hari.
• Konjungtiva tidak anemis.
Intervensi :
• Kaji pola tidur
Rasional : Dengan mengetahui pola tidur klien, akan memudahkan dalam menentukan intervensi selanjutnya.
• Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang
Rasional :Memberikan kesempatan pada klien untuk beristirahat.
• Anjurkan klien minum susu hangat sebelum tidur
Rasional :Susu mengandung protein yang tinggi sehingga dapat merangsang untuk tidur.
• Batasi jumlah penjaga klien
Rasional : Dengan jumlah penjaga klien yang dibatasi maka kebisingan di ruangan dapat dikurangi sehingga klien dapat beristirahat.
• Memberlakukan jam besuk
Rasional : Memberikan kesempatan pada klien untuk beristirahat.
• Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat tidur Diazepam
Rasional : Diazepam berfungsi untuk merelaksasi otot sehingga klien dapat tenang dan mudah tidur.
DIAGNOSA IV
"Gangguan rasa nyaman : hipertermi berhubungan dengan proses infeksi"
Tujuan : Klien akan menunjukkan tidak terjadi panas
Kriteria Hasil :
• Tanda-tanda vital dalam batas normal
• Klien tidak mengalami komplikasi.
Intervensi :
• Pantau suhu klien, perhatikan menggigil/diaforesis
Rasional : Suhu diatas normal menunjukkan terjadinya proses infeksi, pola demam dapat membantu diagnosa.
• Pantau suhu lingkungan
Rasional : Suhu ruangan harus diubah atau dipertahankan, suhu harus mendekati normal.
• Anjurkan untuk minum air hangat dalam jumlah yang banyak
Rasional : Minum banyak dapat membantu menurunkan demam.
• Berikan kompres hangat
Rasional : Kompres hangat dapat membantu penyerapan panas sehingga dapat menurunkan suhu tubuh.
• Kolaborasi pemberian obat antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi pada hipothalamus.
DIAGNOSA V
"Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan"
Tujuan : Klien akan menunjukkan kecemasan berkurang/hilang
Kriteria Hasil :
• Ekspresi wajah tenang
• Klien tidak sering bertanya tentang penyakitnya.
Intervensi :
• Kaji tingkat kecemasan klien
Rasional : Mengetahui sejauh mana kecemasan tersebut mengganggu klien.
• Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional : Ungkapan perasaan dapat memberikan rasa lega sehingga mengurangi kecemasan.
• Mendengarkan keluhan klien dengan empati
Rasional : Dengan mendengarkan keluahan klien secara empati maka klien akan merasa diperhatikan.
• Jelaskan pada klien tentang proses penyakit dan terapi yang diberikan
Rasional : menambah pengetahuan klien sehingga klien tahu dan mengerti tentang penyakitnya.
• Beri dorongan spiritual/support
Rasional : Menciptakan ketenangan batin sehingga kecemasan dapat berkurang.

DAFTAR PUSTAKA
• Carpenito, Lynda, (2001), Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
• Hamilton, C. Mary, 1995, Dasar-dasar Keperawatan Maternitas, edisi 6, EGC, Jakarta.
• Soekojo, Saleh, 1973, Patologi, UI Patologi Anatomik, Jakarta
• Mochtar, Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri, Jilid I. EGC. Jakarta
• Johnson & Taylor, 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. EGC. Jakarta
• Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I. Media Aesculapius. Jakarta.

Selasa, 20 April 2010

LAPARATOMI

Pengertian
Pembedahan perut sampai dengan membuka selaput perut .
Ada 4 cara, yaitu;
1. Midline incision
2. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah  4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.

Indikasi
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
2. Peritonitis
3. Perdarahan saluran pencernaan.
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5. Masa pada abdomen ( Tumor, cyste dll).

PERAWATAN PRE OPERATIF
PENGKAJIAN
Point penting dalam riwayat keperawatan preoperative :
• Umur
• Alergi terhadap obat, makanan
• Pengalaman pembedahan
• Pengalaman anestesi
• Tembakau, alcohol, obat-obatan
• Lingkungan
• Kemampuan self care
• Support system

PEMERIKSAAN FISIK
• Pengkajian dasar preop dilakukan untuk :
• Menentukan data dasar
• Masalah pengobatan yang tersembunyi
• Potensial komplikasi berhubungan dengan anestesi
• Potensial komplikasi post op.

Fokus : Riwayat dan sistem tubuh yang mempengaruhi prosedur pembedahan.

System kardiovaskuler
Untuk menentukan kekuatan jantung dan kemampuan untuk mentoleransi pembedahan dan anestesi.
Perubahan jantung  39 % kematian perioperatif.

Sistem pernapasan
Lansia, smoker, PPOM  resiko atelektasis, kolap jaringan paru.
 Mencegah pertukaran oksigen/CO2
 Intoleransi karena perubahan dalam dada dan paru.
 Regiditas cavum thoraks dan menurunnya ekspansi paru  efisiensi ekskresi paru terhadap anestesi menurun.

Renal system
Abnormal renal fungsi menurunkan rata ekskresi obat dan anestesi
Skopolamin, morphin  konfusi disorientasi

Neuorologi system :
Kemampuan ambulasi, dan reflek, serta aktivitas lainya.

Muskulussceletal
Deformitas  mempengaruhi posisi intra dan post-operasi
Artritis  menerima posisi  nyeri post-operasi oleh karena immobilisasi
Kekuatan, tonus otot.

Status Nutrisi
Malnutrisi, obesitas  resiko tinggi pembedahan
Vit. C , vit.B diperlukan untuk penyembuhan luka dan pembentukan fibrin.
Obesitas  wondhiling menurun oleh karena jaringan lemak tinggi

Psikososial asesment
Tujuan : menentukan kemampuan coping
Informasi
Support

Laboratorium
Analisis:
1. Pengetahuan kurang sehubungan dengan pengalaman pre-op
2. Kecemasan sehubungan dengan pengalaman pre-op


Pengetahuan kurang ( knowledge defisite )
Tujuan : Klien mengatakan dan mematuhi prosedur pre-op
Mendemostrasikan teknik untuk mencegah komplikasi post-op

Intervensi
Fokus : Edukasi pre-operasi
Informasi : Informed consent, pembatasan diit, pre-operatip preparation, post-op exersice.

Informed Consent :
- alasan pembedahan
- pilhan dan resikonya
- resiko pembedahan
- resiko anestesi

Pembatasan diit  NPO (nothing per oral ) 6 – 8 jam sebelum pembedahan GI (gastro intestinal ) preparasi :
- mencegah perlukaan colon
- melihat jelas area
- mengurangi bacteri intestinal

Skin preparasi
Tube, drain, Intra Venous line
Post – op exercise :
- diaphragmatic breating
- incestive spirometri
- cougling and spinting the surgical wound
- turning and leg exercise

Kecemasan :
Tujuan : kecemasan klien menurun , menunjukkan relaksasi saat istirahat
Intervensi :
- preoperatip teaching
- comunikatip
- rest.

INTERVENSI KLIEN INTRA OPERATIF
Anggota tim pembedahan
Tim pembedahan terdiri dari :
• Ahli bedah
• Tim pembedahan dipimpin oleh ahli bedah senior atau ahli bedah yang sudah melakukan operasi.
• Asisten pembedahan (1orang atau lebih) asisten bius dokter, risiden, atau perawat, di bawah petunjuk ahli bedah. Asisten memegang retractor dan suction untuk melihat letak operasi.
• Anaesthesologist atau perawat anaesthesi.
• Perawat anesthei memberikan obat-obat anesthesia dan obat-obat lain untuk mempertahankan status fisik klien selama pembedahan.
• Circulating Nurse
• Peran vital sebelum, selama dan sesudah pembedahan.
Tugas :
 Set up ruangan operasi
 Menjaga kebutuhan alat
 Check up keamanan dan fungsi semua peralatan sebelum pembedahan
 Posisi klien dan kebersihan daerah operasi sebelum drapping.
 Memenuhi kebutuhan klien, memberi dukungan mental, orientasi klien.

Selama pembedahan :
- Mengkoordinasikan aktivitas
- Mengimplementasikan NCP
- Membenatu anesthetic
- Mendokumentasikan secara lengkap drain, kateter, dll.

• Surgical technologist atau Nurse scrub; bertanggung jawab menyiapkan dan mengendalikan peralatan steril dan instrumen, kepada ahli bedah/asisten. Pengetahuan anatomi fisiologi dan prosedur pembedahan memudahkan antisipasi instrumen apa yang dibutuhkan.

Penyiapan kamar dan team pembedahan.
Keamanan klien diatur dengan adanya ikat klien dan pengunci meja operasi. Dua factor penting yang berhubungan dengan keamanan kamar pembedahan : lay out kamar operasi dan pencegahan infeksi.
1). Lay Out pembedahan.
Ruang harus terletak diluar gedung RS dan bersebelahan dengan RR dan pelayanan pendukung (bank darah, bagian pathologi dan radiology, dan bagian logistik).
Alur lalu lintas yang menyebabkan kontaminasi dan ada pemisahan antara hal yang bersih dan terkontaminasi  design (protektif, bersih, steril dan kotor).
Besar ruangan tergantung pada ukuran dan kemampuan rumah sakit.
Umumnya :
• Kamar terima
• Ruang untuk peralatan bersih dan kotor.
• Ruang linen bersih.
• Ruang ganti
• Ruang umum untuk pembersihan dan sterilisasi alat.
• Scrub area.
Ruang operasi terdiri dari :
• Stretcher atau meja operasi.
• Lampu operasi.
• Anesthesia station.
• Meja dan standar instrumen.
• Peralatan suction.
• System komunikasi.

2). Kebersihan dan Kesehatan Team Pembedahan.
Sumber utama kontaminasi bakteri  team pembedahan yang hygiene  dan kesehatan  ( kulit, rambut, saluran pernafasan).

Pencegahan kontaminasi :
• Cuci tangan.
• Handscoen.
• Mandi.
• Perhiasan (-) cincin, jam tangan, gelang.

3). Pakaian bedah.
Terdiri : Kap, Masker, gaun, Tutup sepatu, baju OK.
Tujuan: Menurunkan kontaminasi.

4). Surgical Scrub.
Cuci tangan pembedahan dilakukan oleh :
• Ahli Bedah
• Semua asisten
• Scrub nurse.
 sebelum menggunakan sarung tangan dan gaun steril.

Alat-alat:
• Sikat cucin tangan reuable / disposible.
• Anti microbial : betadine.
• Pembersih / pemotong kuku.
 Waktu : 5 – 10 menit  dikeringkan dengan handuk steril.

Anasthesia.

Anasthesia (Bahasa Yunani)  Negatif Sensation.
Anasthesia menyebabkan keadaan kehilangan rasa secara partial atau total, dengan atau tanpa disertai kehilangan kesadaran.
Tujuan: Memblok transmisi impuls syaraf, menekan refleks, meningkatkan relaksasi otot.
Pemilihan anesthesia oleh anesthesiologist berdasarkan konsultasi dengan ahli bedah dan factor klien.

Type anasthesia:
Perawat perlu mengenal ciri farmakologic terhadap obat anesthesia yang digunakan dan efek terhadap klien selama dan sesudah pembedahan.

1. Anasthesia Umum.
Adalah keadaan kehilangan kesadaran yang reversible karena inhibisi impulse saraf otak.
Misal : bedah kepala, leher. Klien yang tidak kooperatif.

Stadium Anesthesia.
- Stadium I : Relaksasi
Mulai klien sadar dan kehilangan kesadaran secara bertahab.
- Stadium II : Excitement.
Mulai kehilangan kesadaran secara total sampai dengan pernafasan yang iregulair dan pergerakan anggota badan tidak teratur.
- Stadium III : Ansethesi pembedahan..
Ditandai dengan relaksasi rahang, respirasi teratur, penurunan pendengaran dan sensasi nyeri.
- Stadium IV : Bahaya.
Apnoe, Cardiapolmunarry arrest, dan kematian.

Metode Pemberian
Inhalasi , IV injection. Instilasi rectal

Inhalasi
Metode yang paling dapat dikontrol karena intak dan eliminasi secara primer oleh paru.
Obat anesthesia inhalasi yang diberikan :
Gas: Nitrous Axida ( N20).
Paling sering digunakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau. Non iritasi dengan masa induksi dan pemulihan yang cepat.
Jenis yang biasa dipakai;
a. Folatile:
b. Halotan :
c. Ethrane.
d. Penthrane.
e. Forane.

Anesthesi Injeksi IV.
Memberikan perasaan senang., cepat dan pelepasan obat secara pelan. Jenis opbat yamng biasa dipakai;
 Barbiturat.
 Narcotik:
 Inovar
 Ketamine
 Neuromusculer Brochler.

Anestesi Local Atau Regional
Anestesi local atau regional secara sementara memutus transmisi impuls saraf menuju dan dari lokasi khusus.

Teknik pemberian.
Anestesi Topikal
Pemberian secara langsung pada permukaan area yang dianestesi
Bentuk: Salep atau spray.

Lokal Anestesi
Injeksi obat anestesi secara I C dan S C ke jaringan sekitar insisi, luka atau lesi.

Field Block
Injeksi secara bertahab pada sekeliling daerah yang dioperasi
( hernioraphy , dental prosedur ,bedah plstik )

Nerve Block
Injeksi obat anestesi local ke dalam atau sekitar saraf atau saraf yang mempesarafi daerah yang dioperasi. Block saraf memutus transmisi sensasi, motor, sympatis.

Spinal Anestesi / Intra Techal
Dicapai dengan injecsi obat anestesi ke dalam ruang sub orachonoid.
Pada L 2 – 3 atau L 3 – 4.

PENGKAJIAN :
Di ruang penerimaan perawat sirkulasi:
- Memvalidasi identitas klien.
- Memvalidasi inform concent.

Chart Review.
- Memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi kebutuhan actual dan potensial selama pembedahan.
- Mengkaji dan merencanakan kebutuhan klien selama dan sesudah operasi.

Perawat menanyakan.:
- Riwayat allergi, reaksi sebelumnya terhadap anesthesia atau tranfusi darah.
- Check riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
- Check pengobatan sebelumnya : therapy, anticoagulasi.
- Check adanya gigi palsu, kontaks lens, perhiasan, wigs dan dilepas.
-  Kateterisasi.


DIAGNOSIS KEPERAWATAN.
1. Resiko for injury berhubungan dengan anesthesia, posisi intra operatif dan bahaya lain dari lingkungan intra operatif.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka operasi.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan anesthesia
4. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah dan cairan tubuh selama pembedahan.

PERENCANAAN
Resiko for injury berhubungan dengan anesthesia, posisi intra operatif dan bahaya lain dari lingkungan intra operatif.
Tujuan : Klien akan dipertahankan dalam keadaan anesthesia yang aman selama pembedahan dan bebas dari perlukaan peralatan operasi.

INTERVENSI:
- Persiapan dan penggunaan obat anesthesia yang tepat.
- Positioning  posisi yang tepat.
Untuk menjamin posisi yang tepat dikaji : kesesuaian fisiologiss, perubahan sirkulasi yang minimal, proteksi struktur tulang dan neuromusculair, penggunaan dan lokasi IV line, cara anesthesia, keamanan dan keselamatan klien.
- Penggunaan peralatan elektrik. Lempeng grounding yang ditutupi jeli tidak menekan tubuh.
- Chek hati-hati alat / electrosurgical  mencegah luka bakar.

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka operasi.
Tujuan: Klien akan mengalami gangguan integritas kulit yang dan kontaminasi yang minimal.

Intervensi:
- Plastic adhesive drape setelah daerah pembedahan dibersihkan dan kering.
- Penutupan kulit:
- Tujuan:
- Menutup lumen pembuluh darah.
- Mencegah perdarahan dan kehilangan cairan tubuh.
- Mencegah kontaminasi luka.

Dua factor yang menentukan kekuatan penutupan luka :
- Materi jahitan.
Ahli bedah akan memilih metode dan type penutupan kulit berdasarkan letak incisi, ukuran dan kedalaman luka, usia dan riwayat medik klien.
- Staples dan plester digunakan untuk menutup luka superfisialis atau epidermis.
Benang jahit : Absorbable dan non absorbable.
Ukuran benang : 0.-5, 2 – 0 –11- 0.

INTERVENSI KLIEN POST OPERASI.
PENGKAJIAN;
Setelah menerima laporan dari perawat sirkulasi, dan pengkajian klien, perawat mereview catatan klien yang berhubungan dengan riwayat klien, status fisik dan emosi, sebelum pembedahan dan alergi.

Pemeriksaan Fisik Dan Manifestasi Klinik

System Pernafasan.
Ketika klien dimasukan ke PACU, Perawat segera mengkaji klien:
- Potency jalan nafas,  meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
- Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X / menit  depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal  gangguan cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat.
- Auscultasi paru  keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.
- Inspeksi: Pergerakan didnding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma, retraksi sternal  efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
Thorax Drain.

Sistem Cardiovasculer.
Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung dikaji tiap 15 menit ( 4 x ), 30 menit (4x). 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2 hari jika kondisi stabil.
Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung  depresi miocard, shock, perdarahan atau overdistensi.
Nadi meningkat  shock, nyeri, hypothermia.
Kaji sirkulasi perifer (kualitas denyut, warna, temperatur dan ukuran ektremitas).
Homan’s saign  trombhoplebitis pada ekstrimitas bawah (edema, kemerahan, nyeri).

Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit
- Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
- Ukur cairan  NG tube, out put urine, drainage luka.
- Kaji intake / out put.
- Monitor cairan intravena dan tekanan darah.

Sistem Persyarafan.
- Kaji fungsi serebral dan tingkat kesadaran  semua klien dengan anesthesia umum.
- Klien dengan bedah kepala leher :  respon pupil, kekuatan otot, koordinasi. Anesthesia umum  depresi fungsi motor.

Sistem Perkemihan.
- Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal.
Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi  retensio urine.
Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi abdomen bawah (distensi buli-buli).
- Dower catheter  kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam  komplikasi ginjal.

Sistem Gastrointestinal.
- Mual muntah  40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat.
- Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
- Kaji paralitic ileus  suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
- jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.
- Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
• Meningkatkan istirahat.
• Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
• Memonitor perdarahan.
• Mencegah obstruksi usus.
• Irigasi atau pemberian obat.

Sistem Integumen.
- Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu. Jika tidak ada infeksi, trauma, malnutrisi, obat-obat steroid.
- Penyembuhan sempurna sekitar 6 bulan – satu tahun.
- Ketidak efektifan penyembuhan luka dapat disebabkan :
• Infeksi luka.
• Diostensi dari udema / palitik ileus.
• Tekanan pada daerah luka.
• Dehiscence.
• Eviscerasi.

Drain dan Balutan
Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit pada saat di ruang PAR, (Jumlah, warna, konsistensi dan bau cairan drain dan tanggal observasi), dan minimal tiap 8 jam saat di ruangan.

Pengkajian Nyeri
Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan posisi intra operative.
Kaji tanda fisik dan emosi; peningkatan nadi dan tekanan darah, hypertensi, diaphorosis, gelisah, menangis. Kualitas nyeri sebelum dan setelah pemberian analgetika.

Pemeriksaan Laboratorium.
Dilakukan untuk memonitor komplikasi .
Pemeriksaan didasarkan pada prosedur pembedahan, riwayat kesehatan dan manifestasi post operative. Test yang lazim adalah elektrolit, Glukosa, dan darah lengkap.

DIAGNOSIS KEPERAWATAN.
1. Gangguan pertukaran gas, berhubungan dengan efek sisa anesthesia, imobilisasi, nyeri.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka pemebedahan, drain dan drainage.
3. Nyeri berhubungan dengan incisi pembedahan dan posisi selama pembedahan.
4. Potensial terjadi perlukaan berhubungan dengan effect anesthesia, sedasi, analgesi.
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan intra dan post operasi.
6. Ketidak efektifan kebersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan skresi.
7. Perubahan eliminasi urine ( penurunan) berhubungan dengan obat anesthesia dan immobilisasi.

PERENCANAAN
1. Gangguan pertukaran gas
Tujuan :
Klien akan mempertahankan ekspansi paru dan fungsi pernapasan yang adekuat.
Intervensi :
- Posistioning klien untuk mencegah aspirasi
- Insersi mayo  mencegah obstruksi, melakukan suction.
- Pemberian aksigen
- Endotracheal tube/mayo dilepas  refleks gag kembali
- Dorong batuk dan bernapas dalam 5 – 10 x setiap 2 jam. Khususnya 72 jam pertama (potensial komplikasi :atelektasis, pneumonia).
- Klien dengan penyakit paru, orang tua, perokok, panas spirometer.
- Suction.

2. Gangguan integritas kulit
Tujuan :
- luka klien akan sembuh tanpa komlikasi luka post operatif.

Penyebab luka infeksi :
- kontaminasi selama pembedahan
- infeksi preoperative
- teknik aseptic yang terputus
- status klien yang jelek.
Intervensi :
- Terapi obat :
 antibiotik profilaksis spectrum luas (24 – 72 jam post op)
 perawatan luka dengan gaas antibiotik.
- Balutan luka : ganti sesuai order dokter. Luka yang ditutup dengan balutan dibuka 3-6 hari.
- Drain :
 evakuasi cairan dan udara
 mencegah luka infeksi yang dalam dan pembentukan abses pada luka bedah.

3. Nyeri
Tujuan : klien akan mengalami pengurangan nyeri akibat luka bedah dan posisi selama operasi.
Intervensi :
- Terapi obat :
• Pemberian anlgetik narkotik dan non narkotik  nyeri akut (meperidin hydroclorida, morphine sulphate, codein sulphate, dan lain-lain.)
• Mengkaji tipe, lokasi ditensitas nyeri sebelum pemberian obat.
• Pada pembedahan yang luas  kontrol nyeri  iv pump.
• Observasi tekanan darah, pernapasan, kesadaran, (depresi napas, hyotensi, mual, muntah  komplikasi narkotik).

Metode pangendalian nyeri yang lain :
1. positioning
2. perubahan posisi tiap 2 jam
3. masase

EVALUASI :
Kriteria hasil yang diharapkan pada klien post op adalah :
1. Mempertahankan ekspansi paru dan fungsi yang adekuat yang ditandai suara napas jernih.
2. Mengikuti diet TKTP
3. menjelaskan dan mendemonstrasikan perawatan balutan dan drain.
4. Penyembuhan komplit tanpa komplikasi
5. Mengungkapkan nyeri hilang.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

- Dr. Sutisna Himawan (editor). Kumpulan Kuliah Patologi. FKUI
- Brunner / Sudart. Texbook of Medical Surgical Nursing Fifth edition IB. Lippincott Company. Philadelphia. 1984.
- Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam : Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987, Edisi II.

MASTOIDITIS

Pengertian :
Infeksi akut dan kronik yang mengenai mukosa dan sel – sel mastoid, yang merupakan kelanjutan dari proses Otitis media akut supuratif yang tidak teratasi.

Etiologi :
Kuman penyebab :
- S. Pneumonie
- S. Aureus
- H.Influenza.

Patofisiologi :
Keradangan pada mukosa kavum timpani pada otitis media supuratif akut dapat menjalar ke mukosa antrum mastroid. Bila terjadi gangguan pengaliran sekret melalui aditus ad antrum dan epitimpanum menimbulkan penumpukan sekret di antrum sehingga terjadi empiema dan menyebabkan kerusakan pada sel – sel mastoid.

Diagnosis Banding :
1. Anamnesis :
- Nyeri dan rasa penuh di belakang telinga
- Otorea terus menerus selama lebih dari 6 minggu
- Febris / Subfebris
- Pendengaran berkurang.

2. Pemeriksaan :
- Daun telinga terdorong kedepan lateral bawah, sulkus retroaurikuler menghilang (infiltrat/Abses Retroaurikula).
- Nyeri tekanan pada planum mastoid.
- Pada otoskopi tampak :
 Dinding belakang atas MAE menurun (“Sagging”)
 Perforasi membran timpani
 “Reservoir sigh”
 Sekret mukopurulen

3. Pemeriksaan tambahan :
 Pada X foto mastoid Schuller tampak kerusakan sel – sel mastoid (Rongga Empiema)
 Limphadonitis retroauricularis
 Athoroma yang mengalami infokasi
Penyulit :
- Abses subperiosteal (retroaurikula)
- Paresis/paralisis syaraf fasialis
- Labirintitis
- Komplikasi intrakranial : Abses perisinus. Abses ekstra dural, Meningitis, Abses otak.
Terapi :
- Operasi : Mastoidektomi simpel.
- Antibiotik : ampisillin/amoksillin i.v atau oral 4 x 500 – 1000 mg di berikan selama 7 – 10 hari. Untuk yang alergi terhadap ampisillin / amoksillin dapat di berikan Eritromisin dengan dosis 3 – 4 x 500 mg, selama 7 – 10 hari.
- Analgesik / Antipiretik : Parasetamol / Asetosal / Metampiror bila diperlukan.

ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
Keluhan yang spesifik :
- Adanya nyeri dan rasa penuh di belakang telinga
- Otorea terus menerus selama lebih dari 6 minggu
- Febris / Subfebris
- Pendengaran berkurang
Pemeriksaan :
- Daun telinga terdorong kedepan lateral bawah, sulkus retroaurikuler menghilang (infiltrat/Abses Retroaurikula).
- Nyeri tekanan pada planum mastoid.
- Pada otoskopi tampak :
 Dinding belakang atas MAE menurun (“Sagging”)
 Perforasi membran timpani
 “Reservoir sigh”
 Sekret mukopurulen
Pemeriksaan tambahan :
 Pada X foto mastoid Schuller tampak kerusakan sel – sel mastoid (Rongga Empiema)
 Limphadonitis retroauricularis
 Athoroma yang mengalami infokasi

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri sehubungan dengan proses peradangan
2. Gangguan sensori / presepsi sehubungan dengan kerusakan pada telinga tengah
3. Intoleransi aktifitas sehubungan dengan nyeri
4. Ansietas sehubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
5. Isolasi sosial sehubungan dengan penurunan pendengaran
6. Resiko tinggi trauma sehubungan dengan gangguan presepsi pendengaran
7. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

INTERVENSI KEPERAWATAN
Memberikan rasa nyaman
1. Mengurangi rasa nyreri
 Beri aspirin/analgesik sesuai instruki
 Kompres dingin di sekitar area telinga
 Atur posisi
 Beri sedatif sesuai indikasi
Mencegah penyebaran infeksi
 Ganti balutan tiap hari sesuai keadaan
 Observasi tanda – tanda infeksi lokal
 Ajarkan klien tentang pengobatan
 Amati penyebaran infeksi pada otak :
Tanda vital, menggigil, kaku kuduk.
Monitor gangguan sesori
 Catat status pendengaran
 Ingatkan klien bahwa vertigo dan nausea dapat terjadi setelah radikal mastoidectomi karena gangguan telinga dalam. Berikan tindakan pengamanan.
 Perhatikan droping wajah unilateral atau mati rasa karena perlukaan (injuri) saraf wajah.
H.E
 Ajarkan klien mengganti balutan dan menggunakan antibiotik secara kontinu sesuai aturan
 Beritahu komplikasi yang mungkin terjadi dan bagaimana melaporkannya
 Tekankan hal – hal yang penting yang perlu di follow up,evaluasi pendengaran
Terapi medik
 Antibiotik dan tetes telinga : Steroid
 Pengeluaran debris dan drainase pus untuk melindungi jaringan dari kerusakan : miringotomy
Interfensi bedah
 Indikasi jika terdapat chaolesteatoma
 Indikasi jika terjadi nyeri, vertigo,paralise wajah, kaku kuduk, (gejala awal meningitis atau obses otak)
 Tipe prosedur
 Simpel mastoid decstomi
 Radical mastoiddectomi

CA LARING


KONSEP TEORI
A. Pengertian
Secara anatomi tumor laring dibagi atas tiga bagian yaitu supra glotik, tumor pada plika ventrikularis, aritenoid, epiglotis dan sinus piriformis (Glotis : tumor pada korda vokalis , Subglotis : tumor dibawah korda vokalis).

B. Etiologi
Kanker laring mewakkili 1% dari semua kanker dan terjadi lebih sering pada pria, faktor-faktor penyebabnya adalah:
1. Tembakau
2. Alkohol dan efek kombinasinya
3. Ketegangan vocal
4. Laringitis kronis
5. Pemajanan industrial terhadap karsinogen
6. Defisiensi nutrisi (riboflavin) dan
7. Predisposisi keluarga

C. Patofisiologi
Karsinoma laring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun. Kebanyakan pada orang laki-laki.Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, logam berat. Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti oleh para ahli.Kanker kepala dan leher menyebabkan 5,5% dari semua penyakit keganasan.Terutama neoplasma laringeal 95% adalah karsinoma sel skuamosa.Bila kanker terbatas pada pita suara (intrinsik) menyebar dengan lambat.Pita suara miskin akan pembuluh limfe sehingga tidak terjadi metastase kearah kelenjar limfe.Bila kanker melibatkan epiglotis (ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi.Tumor supraglotis dan subglotis harus cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga mengakibatkan suara serak.Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini biasanya pada waktu pita suara masih dapat digerakan.

D. Manifestasi Klinis
1. Sesak terjadi pada awal dan di area glotis
2. Nyeri dan rasa terbakar pada tenggorok ketika minum cairan panas dan jus jeruk
3. Mungkin teraba benjolan di leher
4. Gejala-gejala akhir termasuk disfagia, dispnea, sesak dan nafas bau
5. Pembesaran nodus servikal, penurunan BB, debilitas umum dan nyeri yang menjalar ke telinga dapat menandakan adanya metastasis (transfer penyakit dari satu organ ke organ lain).

E. Stadium
Tergantung keadaan tumor (T), pembesaran kelenjar regional ( N ), dan metastasis jauh ( M ).
Stadium : 

I : T1 No Mo
II : T2 No Mo
III : T3 No Mo, T2 N1 Mo, T3 N1 Mo
IV : T4 No Mo, semua T N2 M1, semua T semua N dan M.

F. Tes Diagnostik
Pada karsinoma laring, dilakukan pemeriksaaan larigoskopik langsung di bawah anestesi umum.Pemeriksaan laring dengan kaca laring atau laringoskopi langsung dapat menunjukan tumor dengan jelas. Tempat yang sering timbul tumor dapat dilihat pada gambar. Sinar-X dada, scan tulang, untuk mengidentifikasi kemungkinan metaphase. darah lengkap, dapat menyatakan anemi yang merupakan masalah umum. Laringografi dapat dilakukan dengan kontras untuk pemeriksaan pembuluh darah dan pembuluh limfe, kemudian laring diperiksa dengan anestesi umum dan dilakukan biopsy pada tumor.Gigi yang berlubang sebaiknya dicabut pada saat yang sama.

G. Penatalaksanaan
Pengobatan bervariasi tergantung pada kemajuan malignasi, pilihannya termasuk terapi radiasi dan pembedahan.
1. Pemeriksaan gigi lengkap untuk menyingkirkan penyakit gigi
2. Masalah-masalah gigi harus dibereskan sebelum pembedahan
3. Terapi radiasi mencapai hasil yang sangat baik jika hanya satu sisi pita suara yang terkena
4. Laringektomi parsial dianjurkan pada tahap dini, terutama pada kanker laring intrinsik
5. Laringektomi supraglofik (horizontal) digunakan untuk beberapa tumor ekstrinsik, keuntungan utama operasi ini adalah pemulihan suara
6. Laringektomi henivertikal dilakukan jika tumor sudah menjalar melebihi pita suara, tetapi kurang dari 1 cm dalam area subglotis
7. Laringektomi total untuk kanker ekstrinsik (menjalar melebihi pita suara). Pasien akan mengalami kehilangan pita suara, tetapi akan mempunyai kemampuan menelan normal.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A Pengkajian
1. Integritas Ego
Gejala : Perasaan takut akan kehilangan suara, mati, terjadi atau berulangnya kanker, kuatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja dan keuangan.
Tanda : Ansietas, depresi, marah dan menolak operasi.

2. Makanan atau cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah tersedak, sakit menelan, sakit tenggorok yang menetap, bengkak, luka, inflamasi atau drainase oral, kebersihan gigi buruk, pembengkakan lidah dan gangguan gag reflek.

3. Higiene
Tanda : Kemunduran kebersihan gigi, kebutuhan bantuan perawatan dasar

4. Neurosensori
Gejala : Diplopia (penglihatan ganda), ketulian
Tanda : Hemiparesis wajah (keterlibatan parotid dan submandibular), parau menetap atau kehilangan suara (gejala dominan dan dini kanker laring intrinsik), kesulitan menelan, kerusakan membran mukosa.

5. Nyeri atau Kenyamanan
Gejala : Sakit tenggorok kronis, benjolan pada tenggorok, penyebaran nyeri ke telinga, nyeri wajah (tahap akhir, kemungkinan metastase), nyeri atau rasa terbakar dengan pembengkakan (khususnya dengan cairan panas), nyeri local pada orofaring.
Pascaoperasi : Sakit tenggorok atau mulut
Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah, nyeri wajah dan gangguan tonus otot.

6. Pernafasan
Gejala : Riwayat merokok atau mengunyah tembakau, bekerja dengan debu, serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, dan logam berat. Riwayat penyakit paru.Batuk dengan atau tanpa sputum. Drainase darah pada nasal
Tanda : Sputum dengan darah, hemoptisis, dispnoe (lanjut) dan stridor

7. Keamanan
Gejala : Terpajan sinar matahri berlebihan selama periode bertahun-tahun atau radiasi, perubahan penglihatan atau pendengaran.
Tanda : Massa atau pembesaran nodul.

8. Interaksi sosial
Gejala : Masalah tentang kemampuan berkomunikasi, dan bergabung dalam interaksi sosial.
Tanda : Parau menetap, perubahan tinggi suara, bicara kacau, enggan untuk berbicara, dan menolak orang lain untuk memberikan perawatan atau terlibat dalam rehabilitasi.

B. Diagnosa Keperawatan

a. Diagnosis dan intervensi preoperasi
Defisit pengetahuan tentang prosedur pembedahan dan perjalanan pascaoperatif
Intervensi :
- Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses yang spesifik
- Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi
- Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
- Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
- Hindari harapan yang kosong
- Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkn diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan dating.

Ansietas yang berhubungan dengan diagnosis kanker dan pembedahan yang akan dijalani
Intervensi
- Gunakan pendekatan yang menenangkan
- Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
- Dorong keluarga untuk menemani pasien
- Bantu pasien untuk mengenal situasi yang menimbulkan cemas
- Dengarkan pasien dengan penuh perhatian
- Instruksikan pasien untuk menggunakan tekhnik relaksasi
- Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi

Inefektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan perubahan dalam jalan napas.
Intervensi:
- Buka jalan nafas, gunakan tekhnik chin lift
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
- Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
- Monitor respirasi dan status O2

Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan dengan kesulitan menelan
Intervensi:
- Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
- Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasi dengan ahli gizi)
- Berikan makanan yang lunak
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam merencanakan rehabilitasi klien
- Bantu klien dengan posisi tegak sebelum makan
- Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
- Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
- Ajarkan klien dan keluarga cara memberikan makanan
b. Diagnosis dan intervensi pascaoperatif
Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan pengangkatan laring dan terhadap edema
Intervensi :
- Bantu komunikasi pasien dengan bahasa isyarat atau tulisan
- Menggunakan kata dan kalimat yang singkat
- Anjurkan pasien untuk mengulangi pembicaraannya jika belum jelas
- Berdiri di hadapan pasien saat bicara
- Mendengarkan pasien dengan baik
- Berbicara kepada pasien dengan lambat dan dengan suara yang jelas.

Gangguan citra tubuh, konsep diri, dan harga diri yang berhubungan dengan operasi leher mayor
Intervensi :
- Dorong klien untuk mengekspresikan perasaannya.
- Dorong individu untuk bertanya mengenai masalah
- Beri informasi yang dapat dipercaya dan perkuat informasi yang telah diberikan
- Dorong kontak dengan teman sebaya dan keluarga
- Beri kesempatan berbagi rasa dengan individu yang mengalami pengalaman sama
- Pertahankan hubungan saling percaya perawat klien
- Diskusikan tentang harapan klien
- Libatkan klien dalam aktivitas

Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan perawatan pascaoperatif
Intervensi :
- Monitor kemampuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
- Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting, dan makan.
- Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self care.
- Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
- Pertimbangan usia klien jika mendorong pelaksanaam aktivitas sehari-hari.

Potensial ketidakpatuhan terhadap program rehabilitatif dan penatalaksanaan pemeliharaan di rumah.
Intervensi :
- Tentukan dengan individu dan keluarga informasi yang dibutuhkan untuk dipikirkan dan dipelajari
- Tentukan jenis peralatan yang dibutuhkan, pertimbangan ketersediaan, biaya, dan daya tahannya
- Tentukan jenis-jenis bantuan yang diperlukan dan bantu individu untuk mendapatkannya
- Bicarakan dampak perawatan untuk anggota keluarga yang sakit

3. Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
1. Mendapatkan tingkat pengetahuan yang memadai
- Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi dan program pengobatan.
- Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
- Pasien dan keluarg Mmpu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan tim kesehatan / perawat.
2. Menurunkan ansietas
- Klien mampu mengidentifikasikan dan mengungkapkan gejala cemas
- Mengidentifikasikan dan menunjukkan tekhnik untuk mengontrol cemas
- Ekspresi wajah, bahasa tubuh, menunjukkan berkurangnya ansietas
3. Mempertahankan jalan nafas yang bersih
- Suara nafas yang bersih, tidak ada dyspneu
- Menunjukkan jalan nafas yang paten
- Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas
4. Mendapatkan tekhnik komunikasi yang efektif
- Pengetahuan terhadap pesan yang diterima
- Mampu menggunakan bahasa isyarat
- Pasien dapat bertukar pesan dengan orang lain.
5. Mempertahankan masukan nutrisi yang seimbang dan adekuat
- Berat badan klien ideal
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
- Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
6. Menunjukan perbaikan citra diri, harga diri, dan konsep diri
- Mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran
- Klien memiliki rasa percaya diri
- Menerima informasi dari orang lain
7. Klien mampu melakukan perawatan diri
- Makan
- Berpakaian, berhias
- Toileting, hygiene
8. Patuh terhadap program rehabilitasi dan perawatan di rumah
- Klien dan keluarga mengetahui informasi dan bantuan yang dibutuhkan pasien
- Klien dan keluarga mengetahui peralatan kesehatan yang dibutuhkan pasien

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C.2001. Buku ajar keperawatan Medikal bedah Brunner dan Suddarth editor Suzzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare : alih bahasa, agung waluyo...(et al) editor edisi bahasa indonesia, monika ester. Ed. 8 Jakarta:EGC.

Carpenito,Lynda Juall.2006.Buku saku diagnosis keperawatan.Edisi 10, Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran

Nanda.2007. Diagnosa Nanda.Jakarta:EGC

PERIAPENDISITIS INFILTRAT

PENGERTIAN
Periapendisistis infiltrat adalah suatu peradangan yang disertai adanya pembesaran pada apendiks periformis yang merupakan asaserbasi dari proses peradangan akut, yang belum tertangani secara adekuat. (Tabrani, 1998 hal. 788). Apendiks periformis merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih sebesar pensil dengan panjang 2 - 6 inci. Lokasi apendik pada daerah illiaka kanan, di bawah katup iliacecal, tepatnya pada dinding abdomen di bawah titik Mc Burney.

ETIOLOGI
• Ulserasi pada mukosa
• Hiperplasi limfoid
• Obstruksi pada colon oleh fecalit (faeses yang keras)
• Pemberian barium
• Berbagai macam penyakit cacing
• Tumor
• Striktur karena fibrosis pada dinding usus
• Variasi anatomik

PATOFISIOLOGI
Apendik belum diketahui fungsinya, merupakan bagian dari sekum. Peradangan pada apendik dapat terjadi oleh adanya ulserasi dinding mukosa atau obstruksi lumen (biasanya oleh fecolif/faeses yang keras). Akibat penutupan lumen periformis , terjadi peningkatan tekanan intraluminal, terjadi edema, iskemik, bakteri sehingga timbul peradangan, dimana dalam waktu 24-36 jam jika daya tahan tubuh klien bagus tidak terjadi perforasi akan tetapi dapat terus berkembang semakin membesar sehingga tampak adanya timbunan massa dalam lumen (infiltrat) (RSUP. Sanglah, 1997 ) dan bila proses ini berlangsung terus-menerus organ disekitar dinding apendik terjadi perlengketan dan akan menjadi abses (kronik), dimana pada kondisi ini tidak selalu menimbulkan nyeri di daerah abdomen. Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius..

INSIDEN
Periapendisitis infiltrat sering terjadi pada usia tertentu dengan range 20-30 tahun. Pada wanita dan laki-laki insidennya sama kecuali pada usia pubertas dan usia 25 tahun wanita lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 3 : 2. Angka kematian berkisar 2-6 %, 19 % kematian jika terjadi pada wanita hamil, dan pada anak kurang dari 2 th tingkat hingga 20 %.

PENCEGAHAN
Pencegahan pada apendisitis infiltrat yaitu dengan menurunkan resiko obstruksi atau peradangan pada lumen apendik atau dengan penanganan secara tuntas pada penderita apendisitis akut. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat terjadi karena tidak adekuatnya diit serat, diit tinggi serat.
Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda apendisitis dan apendisitis infiltrat meminimalkan resiko terjadinya gangren, perforasi, dan peritonitis.

COLECISTITIS

A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Kolecistitin adalah peradangan kandung empedu baik secara akut ataupun kronis (Barbara C. Long, 1996 : 154)

2. Etiologi
Colecistitin dapat terjadi d/k :
1. Sumbatan ductus hillary d/k Batu
2. Infeksi bakteri gram negatif :
 Klebsiella 54%
 Escherichia 39%
 Enterokokus dan
 Bacteroides 25% (Intisari Ilmu Bedah, 1995 : 463)
Colecistitis dan coteliliaty dapat terjadi persamaan atau sendiri-sendiri. Keduanya bisa sebagai penyebab (saling menyebabkan). Akan tetapi kemungkinan infeksi disebabkan oleh obstruksi lebih besar (sering) dibandingkan infeksi menyebabkan obstruksi.

3. Patofisiologi
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan super saturasi progrsif, perubahan susunan kimia, pengendapan. Gangguan kontraksi spinkter odci dan kandung empedu dapat juga menyebabkan statis. Faktor hormone (kehamilan) menyebabkan perlambatan pengosongan kandung empedu. Akibat statis, terjadilah sumbatan empedu (saluran). Adanya batu akibat statis yang progresif tadi memungkinkan terjadi trauma dinding kandung empedu dan ini dapat memungkinkan infasi bakteri lebih cepat.

4. Gambaran Klinis
Pada bentuk akut biasanya ditandai dengan :
1. Nyeri mendadak (hebat/kalk) pada perut kanan atas (midenigastrium) menyebar ke punggung dan bahu kanan.
2. Nausea, vomiting.
3. Keringat banyak.
Pada bentuk kronis gejalanya mirip dengan kolesistitis akut, akan tetapi berat rasa sakit dan tanda-tanda fisik yang kurang nyata. Sering kali ditemukan riwayat dispepsia intoleransi lemak. Heart burn atau flatulent yang berlangsung lama.

5. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non Bedah
1) Indoskopi
2) Pemberian agen pelarut kolesterol
3) Obat-obatan antibiotik, analgetik, antasida
4) Diit rendah lemak
5) Penatalaksanaan keseimbangan cairan
6) Penatalaksanaan muntah k/p NGT
2. Penatalaksanaan Bedah
1) Extra corpeal shock wave litotripsi lesw
2) Kolesitosistoli totomi perkutan
3) Kolistatomi

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian (Doengoes, 2000 : 521)
3. Istirahat
 Adanya kelemahan
 Gelisah
4. Sirkulasi, ditemukan tanda :
 Takikardia, berkeringat
5. Eliminasi, ditemukan
 Perubahan warna urine 2 feces
 Distensi abdomen
 Teraba masa pada kwadran kanan atas
 Urine gelap / coklat
 Feces seperti tanah liat, skatore
6. Makanan / cairan, ditemukan
 Anoreksia, mual muntah
 Tidak toleran terhadap lemak
 Regurgitasi berulang tidak dapat makan d/k nyeri, featus sering, ispepsia
 Kegemukan, penurunan BB
7. Nyeri, kenyamanan
 Nyeri abdomen atas (kanan) menyebar ke punggung / bahu kanan
 Kolik agistrium sehubungan dengan makan.
 Nyeri tiba-tiba biasanya memuncak setelah 30 menit
 Nyeri lepas, otot tegang / kaku bila K. kanan atas ditekan : Murphy Might (+)
8. Pernafasan
 Peningkatan frekwensi
 Nafas pendek dangkal
9. Keamanan
 Menggigil, demam
 Icterus, dengan kulit
 Kecenderungan perdar
10. Pemeriksaan biasa
 Darah lengkap
 Bilirubin & a
 SGOT/SGPT :
 Protora.bin : turun
 Ultrasond : menunjuk
 Foto abdomen : adanya batu.

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses lucen (spasme biliaris)
2. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan dengan muntah
3. Resiko tinggi perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan gangguan pencernaan lemak, gx natrium
4. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognose, pengobatan berhubungan dengan salah interprestasi.
Perencanaan
Dx 1 nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan
Nyeri terkontrol, teradaptasi
Kriteria hasil
 Penurunan respon terhadap nyeri (expresi)
 Laporan nyeri terkontrol
Rencana intervensi :
 Observasi catat lokasi, tingkat dan karakter nyeri
Rasional : membantu mengidentifikasi nyeri dan memberi informasi tentang terjadinya perkembangannya.
 Catat respon terhadap obat nyeri
 Tingkatkan tirah baring (fowler) / posisi yang nyaman
Rasional : posisi fowler menurunkan tekanan-tekanan intra abdominal.
 Ajarkan tehnik relaksasi (nafas dalam)
Rasional : meningkatkan istirahat dan koping
 Ciptakan lingkungan yang nyaman (turunkan suhu ruangan)
Rasional : mendukung mental psikologik dalam persepsi terhadap nyeri.
 Berikan diit rendah lemak
Rasional : mencegah awal dan spasme
 Kompres hangat
Rasional : dilatasi dinding empedu spasme menurun.
 Kolaborasi :
• Antibiotik
• Analgetik
• Sedatif
• Relaksasi otot halus

Dx 2 resiko tinggi kekurangan cairan volume cairan berhubungan dengan muntah
Tujuan :
Menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat
Kriteria hasil :
- Turgor kulit baik
- Membran mukosa lembab
- Pengisian kapiler baik
- Urine cukup
- Tanda-tanda untuk stabil
Rencana intervensi
1. Pertahankan intake dan output cairan
Rasional : mempertahankan volume sirkulasi
2. Awas tanda peningkatan rangsangan muntah
Rasional : mencegah muntah
3. Anjurkan cukup minum (1 botol aqua 1500 ml/nr)
4. Kolaborasi :
• Pemberian antiametik
• Pemberian cairan iv
• Pemasangan NGT

Dx 3 resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gx pencernaan lemak, mual muntah.
Tujuan :
Menunjukkan kestabilan BB
Kriteria hasil :
- BB stabil
- Laporan tidak mual / muntah
Rencana intervensi
1. Kaji perkiraan kebutuhan kalori tubuh
Rasional : menerapkan jumlah intake kalori yang di tiap hari
2. Timbang BB sesuai indikasi
Rasional : mengawali keseimbangan diit / keefektifan
3. Diskusikan menu yang disukai dan ditoleransi
Rasional : meningkatkan toleransi intake makanan
4. Anjurkan giosok gigi sebelum makan / sesudah
Rasional : menjaga kebersihan mulut (tidak bau dan meningkatkan nafsu makan.
5. Konsul ahli gizi untuk menetepkan diit yang tepat
6. Anjurkan mengurangi makanan berlemak dan menghasilkan gas
Rasional : menurunkan rangsangan KK

7. Kolaborasi
• Nutrisi total
• Garam empedu

Dx 4. kurang pengetahuan berhubungan dengan salam interprelasi
Tujuan :
Menyatakan pemahaman klien
Kriteria hasil :
Melakukan perubahan pola hidup dan berpertisipasi dalam pengobatan.
Rencana tindakan :
1. Kaji informasi yang pernah didapat
Rasional : mengkaji tingkat pemahaman klien
2. Beri penjelasan tentang penyakit, prognase dan tindakan diagnostik
Rasional : memungkinkan terjadinya partisipasi aktif.
3. Beritahukan setiap tindakan yang akan dilakukan / (tujuan prosedur)
4. Beritahukan diit yang tepat, tehnik relaksasi, untuk persiapan operasi.
5. Anjurkan tehnik istirahat yang harus dilaporkan tentang sakitnya.

EFFUSI PLEURA MALIGNA

I. PENDAHULUAN
Effusi pleura adalah terkumpulnya cairan di dalam rongga pleura dengan jumlah yang lebih besar dari normal ( nilai normal 10-20 cc), sehingga dapat dinilai dengan pemeriksaan radiologis dan munculnya kelainan restriktif pada paru.
Tingkat besarnya effusi pleura ditentukan oleh faktor-faktor :
a. Jumlah cairan yang sedemikian banyak sehingga terjadi pemburukan fungsi restriktif.
b. Kecepatan pembentukan cairan. Makin cepat terjadi pembentukan cairan makin memperburuk keadaan penderita.
c. Jenis cairan. Serohemorhagik lebih berbahaya dari non sero hemorhagik. Memburuknya fungsi paru ini ditentukan oleh jumlah cairan yang terbentuk dalam satuan waktu

Untuk menggambarkan kecepatan pembentukan ini terdapat istilah effusi pleura maligna. Dimana jumlah cairan yang terbentuk jauh lebih besar dari jumlah cairan yang diabsorbsi sehingga menimbulkan kelainan fungsi restriktif selain dari pergeseran alat-alat mediastinal, pembentukan cairan ini disebabkan oleh keganasan.
Bila terjadi pergeseran alat mediastinal baik yang disebabkan oleh terbentuknya cairan maupun karena aspirasi cairan, kedua keadaan dapat menimbulkan kegawatan paru.
Persoalan pokok pada penderita effusi pleura maligna adalah mengatasi penambahan jumlah cairan yang terjadi secara massive dalam waktu singkat. Makin tinggi kecepatan pembentukan cairan pleura makin tinggi pula tingkat kegawatan yang terjadi. Para penyelidikan juga membuktikan bahwa pembentukan cairan pleura karena tumor ganas baik metastasis ataupun primer dari pleura merupakan tanda prognosa yang buruk.

II. ETIOLOGI
Sebagian besar penyebab dari effusi pleura maligna ditimbulkan oleh tumor ganas paru, dan dapat disebabkan pula oleh berbagai penyakit antara lain infeksi (TBC, virus, parasit, jamur atau berbagai kuman lainnya). Sedangkan secara teoritis dapat timbul oleh karena malnutrisi, kelainan sirkulasi limphe, trauma thorak, infeksi pleura, sirosis hepatis, meigh syndrome, sub phrenic abses, vena cava superior syndrome, SLE, rheumatoid artritis dan radioterapi mediastinal serta berbagai sebab yang belum jelas (idiopatik).
Dari berbagai penyebab ini keganasan merupakan sebab yang terpenting ditinjau dari kegawatan paru dan angka ini berkisar antara 43-52 %. Berdasarkan jenis tumornya bisa karena tumor primernya atau metastasis dari tempat lain. Tumor-tumor primer lebih jarang menyebabkan effusi pleura dari pada tumor metastasis. Akan tetapi bila terdapat mesotelioma sebagian besar akan menyebabkan effusi pleura maligna.
Tumor-tumor pleura yang sering menimbulkan cairan pleura antara lain bronchogenig ca, ca mamma, limphoma atau tumor-tumor dari tempat lain seperti colon, rectum, abdomen, cervic, renal, kelenjar adrenal, pankreas, esophagus, thyroid, testis, osteogenic sarcoma dan multiple myeloma.

III. PATOGENESIS
Patogenesis terbentuknya effusi pleura dapat dibagi antara lain:
1. Non Malignancy
Dalam keadaan fisiologi cairan pleura berkisar antara 10-20 cc dan cairan ini bervariasi pada latihan fisik. Sedangkan tekanan hidrostatik intra pleura adalah minus 5 cm H2O. Menurut teori driving pressure adalah sama dengan perbedaan tekanan hidrostatik ( tekanan intra pleura dikurangi tekanan hidrostatik kapiler dikurangi dengan tekanan hidrostatik antara kapiler dan tekanan ini besarnya 6 cmH2O). Jadi dasar pembentukan cairan ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan osmotik.
Pada pleura visceralis terjadi sebaliknya dimana perbedaan tekanan osmotik lebih besar dari pada tekanan hidrostatik. Pada pleura visceralis terjadi pengisapan cairan dengan kekuatan pengisapan sama dengan perbedaan tekanan osmotik intra kapiler dan intra pleura (reabsorbsion pressure 9 mmHg)
Sebagaimana diketahui tekanan hidrostatik intra kapiler pada pleura parietalis 30 mmHg, tetapi tekanan hidrostatik kapiler pada pleura visceralis 11 mmHg. Sedangkan faktor yang lain dapat dianggap konstan , yakni tekanan hidrostatik intra pleura 5 mm Hg, tekanan osmotik intra pleura 6 mmHg dan tekanan osmotik intra kapiler 32 mmHg. Dengan perkataan lain di pleura parietalis berlaku rumus:
PD = (PHC-PHP)-(POC-POP)
= (30-(-5)-(32-6)
= 9 cmH2O
Pada pleura visceralis :
PD = (11-(-5)-(321-6)
= - 10 cmH20
Secara teoritis pembentukan cairan dapat dibagi atas :
A. Eksudat
a. Permeabilitas kapiler pleura bertambah
b. Pengaliran cairan limphe rongga pleura terhambat

B. Transudat, yang terdapat pada :
a. Bendungan sistemik dari arteri pulmonalis
b. Hipoproteinemia disertai merendahnya koloid osmotik plasma
c. Tekanan intra pleura yang sangat negatif
d. Perembesan transudat intra peritoneal melalui sistem limpha dan menembus diaphragma ke rongga pleura.
2. Effusi pleura maligna
Pada effusi pleura maligna faktor-faktor fisiologis ini tidak lagi dapat diperhitungkan oleh karena faktor mekanisme pembentukan cairan memberikan gambaran patologis :
a. Erosi pembuluh darah dan pembuluh limphe
b. Obstruksi pembuluh darah atau pembuluh limphe
c. Effusi oleh karena skunder infeksi dari tumor
d. Implantasi sel tumor pada pleura
Pembentukan cairan yang demikian menyebabkan cairan cepat terkumpul dan bertambah dimana terbentuk secara massive.

IV. DIAGNOSA
Diagnosa dari effusi pleura ditegakkan atas dasar keluhan dari penderita dan dapat dibedakan atas
1. Riwayat Penyakit, dimana terdapat :
a. Keadaan uum yang lemah
b. Terdapatnya dispneu
c. Terdapatnya rasa nyeri dada
d. Suhu tubuh yang tidak tetap
2. Pemeriksaan Fisik yang ditandai dengan :
a. Hemithorak yang kurang bergerak
b. Vocal fremitus berkurang
c. Perkusi redup
d. Suara pernafasan menghilang
Secara teoritis dapat pula ditentukan garis Ellis Damoiseu, namun pemeriksaan rontgen laebih dapat memberikan tanda-tanda yang pasti. Pada gambaran radiologis ditemukan gambaran perselubungan, ruang antar iga yang melebar dan desakan pada alat mediastinum. Disamping tanda yang pasti adanya meniskus pada permukaan cairan dan dapat dibuktikan terdapatnya pergeseran cairan pada photo lateral decubitus.
Di samping itu kadang-kadang suatu massa tumor memberikan gambaran Golden S sign, dimana permukaan conveks sedangkan meniscus cairan memberikan gambaran konkaf. Bentuk dimana didapatkan bayangan cairan pleura sering sukar dibedakan dengan atelektasis lebih-lebih terdapat atelektasis dan cairan pleura bersama-sama yang memberikan gambaran radiologis yang tak jarang pada kanker paru yang tumbuh intra luminer.
3. Pleura punctie
Dapat memastikan adanya cairan dalam pleura dan jenis cairan eksudat, transudat,hemorhagic atu pus. Walaupun tes biokimia meliputi alkalinephospatase, lacticodehidrogenase, amilase, glucosa, protein dan lemak atau pemeriksaan sedimen dari pleura yaitu eritrosit, leukosit ataupun pemeriksaan bakteriologis, akan tetapi secara makroskopis cairan ini telah dapat dilihat.
Penyebab yang pasti dari effusi pleura hanya ditegakkan atas dasar sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit dari cairan punksi maupun biopsi pleura.

V. TERAPI
1. Aspirasi cairan pleura
Punksi pleura ditujukan untuk menegakkan diagnosa effusi plura yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan. Disampng itu punksi dituukan pula untuk melakukan aspirasi atas dasar gangguan fugsi restriktif paru atau terjadinya desakan pada alat-alat mediastinal.
Jumlah cairan yang boleh diasirasi ditentukan atas pertimbangan keadaan umum penderita, tensi dan nadi. Makin lemah keadaan umm penderita makin sedikit jumlah cairan pleura yang bisa diaspirasi untuk membantu pernafasan penderita.
Komplikasi yang dapat timbul dengan tindakan aspirasi :
a. Trauma
Karena aspirasi dilakukan dengan blind, kemungkinan dapat mengenai pembuluh darah, saraf atau alat-alat lain disamping merobek pleura parietalis yang dapat menyebabkan pneumothorak.
b. Mediastinal Displacement
Pindahnya struktur mediastinum dapat disebabkan oleh penekaran cairan pleura tersebut. Tetapi tekanan negatif saat punksi dapat menyebabkan bergesernya kembali struktur mediastinal. Tekanan negatif yang berlangsung singkat menyebabkan pergeseran struktur mediastinal kepada struktur semula atau struktur yang retroflux dapat menimbulkan perburukan keadaan terutama disebabkan terjadinya gangguan pada hemodinamik.
c. Gangguan keseimbangan cairan, Ph, elektroit, anemia dan hipoproteinemia.
Pada aspirasi pleura yang berulang kali dalam waktu yang lama dapat menimbulkan tiga pengaruh pokok :

a. Menyebabkan berkurangnya berbagai komponen intra vasculer yang dapat menyebabkan anemia, hipprotein, air dan berbagai gangguan elektrolit dalam tubuh
b. Aspirasi cairan pleura menimbulkan tekanan cavum pleura yang negatif sebagai faktor yang menimbulkan pembentukan cairan pleura yang lebih banyak
c. Aspirasi pleura dapat menimbulkan skunder aspirasi.

2. Water Seal Drainage
Telah dilakukan oleh berbagai penyelidik akan tetapi bila WSD ini dihentikan maka akan terjadi kembali pembentukan cairan.

3. Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan berbagai obat-obatan pada pleura effusi selain hasilnya yang kontraversi juga mempunyai efek samping. Hal ini disebabkan pembentukan cairan karena malignancy adalah karena erosi pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaan citostatic misalnya tryetilenthiophosporamide, nitrogen mustard, dan penggunaan zat-zat lainnya seperi atabrine atau penggunaan talc poudrage tidak memberikan hasil yang banyak oleh karena tidak menyentuh pada faktor patofisiolgi dari terjadinya cairan pleura.

Pada prinsipnya metode untuk menghilangkan cairan pleura dapat pula menimbulkan gangguan fungsi vital . Selain aspirasi thoracosintesis yang berulang kali, dikenal ula berbagai cara lainnya yaitu :
1. Thoracosintesis
Dapat dengan melakukan apirasi yang berulang-ulang dan dapat pula dengan WSD atau dengan suction dengan tekanan 40 mmHg
2. Pleurodysis
Dapat dipergunakan darah atau glukosa atau dengan talc poudrage dengan tujuan untuk menghilangkan rongga pleura.
3. Pleurectomy/ dekortikasi
Dengan tujuan untuk menghilangkan pleura, sering dilakukan pada carcinoma mamma.
4. Memasukan bahan-bahan radioaktif
a. Dapat digunakan Au 198 sebanyak 75-150 mc sampai dengan dosis 450 mc
b. P32 (Cr P32O4) sebanyak 10-20n mc.
c. Yetrium 90.
Walaupun berbagai penlitian tidak menunjukkan hasil yang baik akan tetapi pada metastase carcinoma mamma menunjukkan hasil yang lebih baik daripada carcinoma paru primer.

5. Citostatic intra pleura.
Zat-zat yang digunakan biasanya :
a. Mustargen 0,4 mg per kg berat badan digunakan dosis 20-40 mg dalam 100 cc larutan garam.
b. Theothepa 20-50 mg intra pleura
c. Atabrine 250 mg dalam 10 cc aquades
d. Fluoro uracil dan mitomycine

6. Radiasi
Radiasi pada tumor justru menimbulkan effusi pleura disebabkan oleh karena kerusakan aliran limphe dari fibrosis. Akan tetapi beberapa publikasi terdapat laporan berkurangnya cairan setelah radiasi pada tumor mediastinum..

TETANUS

I . Definisi:
Penyakit tetanus addalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh kuman Cloctradium tetani yang dimanifestasikan berupa kejang otot proksimal, diikuti oleh kekuatan otot seluruh tubuh. Kekuatan tonos otot ini selalu tampak pada otot maseter dan otot – otot rangka.

II. Etiologo:
Clastradium tetani adalah kuman berbentuk batang, rangping berukuran 2-5x0,4-0-0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk dalam golongan gram positif dan hidup anaerob. Spora dewasamempunyai bagian yang bergenderang ( drum stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neorotoksik. Toksik ini (tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot daqn syaraf ferefer setempat. Toksin labil pada pemanasan pada suhu 65 derajat celcius akan hancur dalamwaktu5 menit. Disamping itu dikenal juga tetanolisin yang bersifat hemolisis yang perannya kurang berani dalam proses hemolisis.

III. Epidmiologi :
Di Amerika rata-rata usia pasien tetanus berkisar antara 50 s.d 57 tahun. Tetanus juga dapat menyerang semua golongan umur : bayi (tetanus neonatorum). Dewasa muda (biasanya pecandu narkotik) Kuman ini bisa tersebar luas diseluruh tanah terutama tanah garapan yang berasal dari kotoran hewan.

IV. Patofisiologi :
Luka yang terjadi karena tusukan paku , besi, kaleng/ bekas tusuk sate yang kotor cenderung tertutup dan menyebab keadaan kotoran anaerob didalam luka,merupakan media yang sangat baik bagi kuman clostridium tetani . Cara penyebaran toksin oleh kuman terjadi dalam 2 cara yaitu diabvsorbsi melalui ujung syaraf motorik dan malalui susunan limpatik dan ikut aliran darah arteri . Setelah terjadi toksik terjadi perubahan serangan akan timbul gelala-gejala kejang tetani yang khas.

V. Gejala Klinis :
Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari. Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak yang didahului oleh ketegangan otot pada rahang dan leher. Timbul kesukaran membuka mulut, (trismus) karena spasmus otot masseter. Kejang ototini akan berlanjut kekuduk dinding perut dan sepanjang tulang belakang. Bila serangan toksik sedang sering tampak rimus sardonikus karena spasmus otot muka dengan gambaran alis tertarik keatasdan sudut mulut tertarik keluar dankebawah , bibir tertekan kuat pada gigi . Gambaran umum yang khas pada tetanus adalah berupa badan kaku dengan epistotonus ,tungkaidalam keadaan ektensi, lengan kaku dan tangan mengapel, biasanya kesadaran tetap baik.

Secara umumdalam kurun waktu kurang lebih 48 jam penyakit tetanus menjadi nyata
terlihat dengan gambaran klinis sebagai berikut :
1. Tetanus : karena spasmus otot-otot matikatoris ( otot pengunyah).
2. Kaku kuduk sampai epistotonus ( karena ketegangan otot-otot erector tungkai).
3. Ketegangan otot dinding perut (perut kaku seperti papan).
4. Kejang tonis teritama bila dirangsang karena toksin yang tendapat di komus
anterior.
5. Resus sardonikos karena spasme otot muka ( alis tertarik keatas,sudut muka
tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi)
6. Kerusakan menelan, gelisah ,mudah terrangsang, nyeri kepala, nyeri anggota
badan
7. Spasme yang khas yaitu badan kaku dengan epitotonus, ektrimitas inferior dalam
keadaan ektensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat .
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring.
9. Panas biasanya tidak terlalu tinggi.
10. Biasanya terdapat leukositisis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan
cairan otak.

Menurut beratnya gejala dapat dibedakan dalam 3 stadium :
1. trismus ( 3cm) tampa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus ( 1 cm) dengan kejang tonik umum spontan

Penilaian tetanus berdasarkan Phillip skore :
Gardasi Penyakit :
1. Masa inkubasi :
- < 2 hari - Nilai 5
- 2-5 hari - “ 4
- 6-8 hari - “ 3
- 11-14 hari - “ 2
- > 15 hari - “ 1
2. Tempat infeksi :
- Umbilikus - Nilai 5
- Kepala/leher - “ 4
- Badan - “ 3
- Ektrimitas atas proksimal - “ 3
- Ektrimitas bawah proksimal - “ 3
- Ektrimitasd atas distal - “ 2
- Ektrimitas bawah distal - “ 2
- Tidak diketahui - “ 1
3. Imunisasi :
- Belum pernah - Nilai 10
- Mungkin pernah - “ 8
- Pernal > 10 th yang lalu - “ 4
- Pernah < 10 th yang lalu - “ 2
- Imunisasi lengkap - “ 0
4. Faktor penyerta :
- Trauma yg mengancam jiwa - Nilai 10
- Trauma berat - “ 8
- Trauma sedang - “ 4
- Trauma ringan - “ 2
- A.S.A derajat 1 - “ 1

Faktor-faktor yg mempengaruhi prognosa penyakit :
5. Derajat spasme :
- Epistotonus - Nilai 5
- Reflek spasme umum - “ 4
- Reflek terbatas - “ 3
- Spastisitas umum - “ 2
- Trismus - “ 1
6. Frekue3nsi spasme :
- Spontan > 3 x / 15 menit - Nilai 5
- Spontan < 3 x / 15 menit - “ 4
- Kadsang-kadang spontan - “ 3
- < 6 x / 12 jam - “ 1
7. Suhu Badan :
- > 38,9 derajat celcius - Nilai 10
- 38,3 – 38,9 derajat celcius - “ 8
- 37,8 – 38,2 derajat celcius - “ 4
- 37,2 – 37, 7 derajat celcius - “ 2
- 37,7 – 37,1 derajat celcius - “ 0
8. Pernapasan :
- Tracheostomy - Nilai 10
- Henti napas setiap konvulsi - “ 8
- Henti napas kadang setelah konvulsi - “ 4
- Henti napas hanya selama konvulsi - “ 2
- Normal - “ 0

VI. Pemeriksaan Laboratorium :
Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang didapat peningkatan tekanan cairan otak.

VII. Penatalaksanaan :
1. Umum :
a. Merawat dan membersihkan luka dgn sebaik-baiknya
b. Diet cukup ka;lori dan protein ( bentuk makanan tergantungpada kemampuan
membuka mulut dan menelan ).
c. Isolasi klien untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tidakan thd
klien lainnya
d. Oksigen dan pernapasan buatan dan tracheotomy kalau perlu.
e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan :
a. Anti toksin . Tetanus Imun Glubolin (TIG ) lebih dianjurkan pemakainnya di
bandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Disis initial TIG
adalah 5000 U IM ( disis harian 500 – 6000 U ). Kalau tidak adaTIG diberi ATS
dgn dosis 5000 U IM dan 5000 U IV.
b. Anti kejang.
Beberapa obat yg dapat diberikan :

Obat Dosis Efek samping
- Diasepam 0,5 – 10 mg/kg BB /24 jam IM - Sopor, koma
- Meprobamat 300 – 400 mg/4 jam IM - Tidak ada
- Klorpromasin 25 – 75 mg /4 jam IM - Hipotensi
- Fenobarbital 50 – 100 mg / 4 jam IM - Depresi nafas

VIII. Prognosis :
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yg dapat memperburuk keadaan yaitu :
a. Masa inkubasi yg pendek ( 7 hari ).
b. Neonatus dan usia tua (lebih dari 55 th )
c. Frekuensi kejang yg sering
d. Kenaikan suhu badan yg tinggi
e. Pengobatan yg terlambat
f. Periode trismus dan kejang yg semakin sering
g. Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas

IX. Pencegahan :
1. Mencegah luka
2. Merawat luka secara adekuat
3. Beri ATS setelah luka
4. Diluar negeri dicegah dg pemberian TIG dan toksoid.

TRAUMA THORAKS


A. REVIEW ANATOMI FISIOLOGI

KERANGKA/TULANG DADA
Di bentuk oleh susunan tulang-tulang yang melindungi rongga dada yang terdiri dari :
1. Tulang dada (sternum) banyaknya 1 buah
2. Tulang lga (kosta) banyaknya 12 buah
3. Vertebra toraks banyaknya 12 buah
Tulang dada menjadi tonggal dinding depan dari pada thoraks (rongga dada). Bentuknya gepeng dan sedikit melebar, yang terdiri atas 3 (tiga) yaitu :
1. Manubrium sterni. Bagian tulang dada sebelah atas yang membentuk persendian dengan tulang selangka (kdavikula) dan tulang lga
2. Korpus sterni. Bagian yang terbesar dari tulang dada dan membentuk persendiaan dengan tulang-tulang lga
3. Prosesus xipoid. Bagian ujung dari tulang dada dan pada bayi masih berbentuk tulang rawan
• Fungsi Kerangka/Tulang dada
Fungsi utama daripada tulang dada yaitu melindungi organ atau alat tubuh bagian dalam seperti jantung dan paru-paru.

B. DEFINISI
Trauma dada adalah trauma rajan atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematotharaks, hematonpneumothoraks yang dapat menimbulkan kelainan pada organ-organ di dalam thoraks.

C. ETIOLOGI
1. Trauma tembus
- Luka tembak
- Luka Tikam/Tusuk
2. Trauma Tumpul
- Kecelakaan kendaraan bermotor
- Jatuh
- Pukulan pada dada

D. PATOFISIOLOGI
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang sangat mudah terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada rongga thoraks dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung untuk memoma darah atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan oksigen darah. Bahaya utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan dalam dan tusukan terhadap organ.
Luka dada dapat meluas di bagian yang relatif kecil dan goresan yang dapat menghancurkan atau terjadi trauma penetrasi.
Luka dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi (tumpulan). Luka dada penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi kesempatan bagi udara atmosfir masuk ke dalam permukaan pleura dan menggangu mekanisme ventilasi normal luka dada penetrasi dapat menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur thoraks lain.

E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala pada trauma thoraks :
1. Ada jejas pada thoraks
2. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi
3. Pembengkkan lokal dan krepitasi pada saat palpasi
4. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek
5. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan.
6. Penurunan tekanan darah
7. Peningkatan tekanan vena sentral yang di tunjukkan oleh distensi vena leher
8. Bunyi muffle pada jantung
9. Perfusi jaringan tidak adekuat
10. Pulsus paradoksus (tekanan darah sistulik turun dan berfeluktuasi dengan pernapasan) dapat terjadi dini pada tamponade jantung.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostic awal termasuk :
- Rontgen dada
- Pemeriksaan pembekuan
- Golongan dan cocok silang
- Urinalisis
- Elekrolit dan osmolatis
- Saturasi oksigen
- ECG
- CT Scan
- Pemasangan Water Seal Drain Age (WSD)

G. PENATALAKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : Tentukan luka masuk atau luka keluar, perhatikan kesimetrisan gerak dan posisi pada akhir dari inspirasi dan ekspirasi
 Palpasi : Raba ada tidaknya krepitasi, nyeri tekan anteropos terior dan laterolateral, serta bandingkan fremitas kiri dan kanan
 Perkusi : Perhatikan adanya bunyi perkusi sonor, tempani, dan hipersonor, serta adanya pekak dan batas antara yang pekak dan sonor, seperti garis lurus atau garis miring.
 Auskultasi : Bandingkan bising napas kiri dan kanan, apakah melemah atau menghilang batasnya atau adanya bising abnormal
Kalau Keadaan stabil, lakukan radiologi minimal Foto PA

2. Penatalaksanaan Medis
a) Konservatif
- Pemberian analgetik
- Pemasangan plak/plester
- Jiika perlu antibiotika
- fisiotherapy
b) Operatif/Invasif
- Pemasangan water drainage (WSD)
- Pemasangan alat bantu nafas
- Pemasangan (thoracosin tesis)
- Operasi (bedah thoraxis)
- Tindakan untuk menstabilkan dada
• Miring pasien daerah yang terkena
• Gunakan bantal pasien pada dada yang terkena
3. Tindakan/ Penatalaksanaan Cepat
a. Pemberian oksigen
b. Tutup luka dada yang terbuka
c. Control segmen flail
d. Persiapan untuk memasukan selang dada


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Dasar data pengkajian pasien
1. Anomnesis yang lengkap dan cepat, yang perlu ditanyakan adalah :
- Waktu kejadian
- Tempat kejadian
- Jenis trauma (tertembak, tertusuk, terpukul, dll)
- Arah masuk keluar perlukaan
- Bagaimana keadaan penderita selama dalam perjalanan
2. Aktivitas/Latihan
- Nyeri dada sampai abdomen
- Lemah
- Terpasang infus
- Sesak nafas ditandai dengan 24 x /menit
3. Sirkulasi : Takikardi, Disretmia
4. Integritas ego
- Ketakutan
- Gelisah
5. Nyeri/ nyaman
Gejala (tergantung pada ukuran / area yang terlibat)
- Tajam dan nyeri yang menusuk yang dapat diberatkan oleh nafas dalam kemungkinan menyebar ke leher, bau, abdomen (EF fusipleural)
- Timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan (pneumathoraks spontan)
- Nyeri dada unilateral meningkat karena pernapasan, batuk
6. Pernapasan
Gejala :
- Kesulitan bernapas, lapar nafas
- Batuk
- Fremitus menurun (sisi yang terlibat)
7. Kulit
- Pucat, sianosis, berkeringat
- Bunyi napas menurun atau tidak
- Peningkatan kerja napas, penggunaaan otot aksesori pernapasan pada dada, leher, retraksi intekostal, ekspirasi andomen kuat
- Pernafaran, peningkatan frekwensi / takipnoe.
8. Mental
a. Ansietas, gelisah, bingung pingsan
b. Kajian nutrisi metobolik
- Bising usus berkurang
- Mukosa mulut kering
- Kurang nafsu makan
- Kembung
- Haus

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya Nyeri
3. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penuruanan masukan
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya masukan makanan dan cairan
5. Ansietas atau ketakutan berhubungan dengan penyakit yang dideritanya
6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penuruanan ekspirasi paru

THYPUS ABDOMINALIS

A. PENGERTIAN
Typoid adalah suatu penyakit intensif pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

B. ETIOLOGI
Salmonella typhi basil gram negative dan tidak berspora.

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstivasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis.

D. PATOFISIOLOGI
-

E. ETIOLOGI
1. Dehidrasi
2. Peritonitis
3. Perforasi usus
4. Broncopneumoni

F. PENATALAKSANAAN
1. Isolasi penderita serta desinfeksi
2. Istrahat selama dua minggu (selama demam)
3. Terapkan diit TKTP
4. Pemberian obat oral cloram penikol

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan leukosit
2. SGOT
3. Biakan darah
4. Pemeriksaan widal

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
1) Indentita pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama
Keluhan utama adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
3) Riwayat Penyakit
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella thypi kedalam tubuh
4) Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah mederita sakit yang sama
5) Riwaya pentakit keluarga
Apakah keluarga ada yang menderita sakit yang sama
6) Riwayat psikososial dan spiritual
Biasanya klien cemas, bagaimana coping mekanisme yang digunakan, gangguan dalam beribadah karena pasien tirah baring total dan lemah
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolis
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual muntah saat makan, sehingga makan hanya sedikit dan bahkan tidak makan sama sekali
b. Pola eliminasi
Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam thypoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
c. Pola aktivitas dan latihan
Aktifitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dapat dibantu.
d. Pola tidur dan istrahat
Pola tidur dan istrahat terganggu sehubungan dengan peningkatan suhu tubuh.
e. Pola presepsi dan konsep diri
Bisanya terjadi kecemasan terhadap keadaan penyakitnya dan ketakutan merupakan dampak psikologis klien
f. Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak dapat suatu faham pada klien.
8) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38-410C, muka kemerahan
b. Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (Apatis)
c. Sistem respirasi
Pernapasan rata-rata ada peningkatan, napas cepat dan dalam dengan gambaran seperti bronchitis
d. Sistem kardiovaskular
Terjadi penurunan tekanan darah brikardi relative, hemoglobin rendah
e. Sistem integument
Kulit kering, turgor kulit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam.
f. Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas) mual muntah, anoreksia dan konsistensi, nyeri perut terasa tidak enak dan peristaltik usus meningkat.
g. Sistim abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.
9) Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan urine
c. Pemeriksaan tinja
d. Pemeriksaan bakteriologi
e. Pemeriksaan radiologi

10) Diagnosa yang mungkin muncul
a. Diagnosa keperawatan I
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi
b. Diagnosa keperawatan II
Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan
c. Diagnosa keperawatan III
Gangguan pemenuhan kebutuhan istrahat tidur behubungan dengan peningkatan suhu tubuh.

11) Rencana keperawatan dan rasionalisasi
Dx I : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi
1. Bina hubungan terapautik dengan pasien dan keluarga
Rasionalisasi : dengan hubungan yang dapat meningkatkan kerja sama dengan klien, sehingga pengobatan dan perawatan mudah dilaksanakan
2. Beri HE tentang penyakitnya
Rasionalisasi : agar pasien mengerti tentang penyakitnya
3. Anjurkan minum yang banyak (cairan putih dan hangat)
Rasionalisasi : dapat merupakan pengatur suhu tubuh, karena setiap ada kenaikan suhu tubuh melebihi norma, kebutuhan metabolism air juga meningkat
4. Observasi TTV
Rasionalisasi : dengan mengobservasi TTV untuk mengetahui komplikasi yang terjadi sehingga cepat mengambil keputusan
5. Berikan kompres hangat dengan handuk didaerah lipatan
Rasionalisasi : agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi penyuapan melalui jaringan tubuh sehingga terjadi penurunan panas
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat-oabatan
terutama antibiotik
Rasionalisasi : pemberian obat-obatan terutama antibiotik akan membunuh kuman salmonella thypi sehingga mempercepat pembuluh darah.


Dx II : Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan
1. Kaji intake dan output
Rasionalisasi : untuk mengetahui sejauh mana adanya ketidak seimbangan antara intake dan output pada pasien.
2. Anjurkan untuk minum banyak
Rasionalisasi : agar cairan yang keluar agar dapat digantikan oleh cairan yang diminum
3. Anjurkan untuk memberikan makanan dan minuman yang hangat
Rasionalisasi : dengan makanan dan minuman yang banyak diharapkan dapat mencegah rangsangan muntah
4. Observasi TTV
Rasionalisasi : dengan mengobservasi TTV untuk mengetahui komplikasi yang terjadi sehingga cepat mengambil keputusan
5. Kolaborasi dengan dokter dalam memberikan infus
Rasionalisasi : pemberian infus dapat mempercepat
pemulihan/pengembalian keseimbangan cairan
tubuh

Dx III : Gangguan pemenuhan kebutuhan istrahat tidur berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh
1. Gerakan suasana ruangan yang tenang
Rasionalisasi : dengan susana yang tenang diharapkan pasien dapat istrahat
2. Atur posisi tidur senyaman mungkin
Rasionalisasi : dengan posisi tubuh yang nyaman akan membuat tubuh menjadi rileks
3. Batasi pengunjung
Rasionalisasi : banyaknya jumlah penjunjung dapat mengganggu waktu istrahat pasien