Jumat, 15 Januari 2010

CHOLELITHIASIS

I. Pengertian :
a. Batu saluran empedu : adanya batu yang terdapat pada sal. empedu (Duktus Koledocus ).
b. Batu Empedu(kolelitiasis) : adanya batu yang terdapat pada kandung empedu.
c. Radang empedu (Kolesistitis) : adanya radang pada kandung empedu.
d. Radang saluran empedu (Kolangitis) : adanya radang pada saluran empedu.

II. Penyebab:
Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein.

Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:
1. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan penurunan produksi empedu.

Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:
· Infeksi kandung empedu
· Usia yang bertambah
· Obesitas
· Wanita
· Kurang makan sayur
· Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol

2. Batu pigmen empedu , ada dua macam;
· Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi
· Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan disepanjang saluran empedu, disertai bendungan dan infeksi

3. Batu saluran empedu
Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum didaerah vateri. Ada dugaan bahwa kelainan anatomi atau pengisian divertikula oleh makanan akan menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan ini memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.

III. Pathofisiologi :
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya.

Faktor predisposisi yang penting adalah :
· Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu
· Statis empedu
· Infeksi kandung empedu

Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap dalam kandung empedu .

Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok ini.

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi. Infeksi lebih sering sebagai akibat pembentukan batu empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan batu.

IV. Perjalanan Batu
Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada pembentukan foto polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus sistikus akan menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi. Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis kolesistitis akut atau kronik.

Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus dapat lewat ke doudenum atau tetap tinggal diduktus yang dapat menimbulkan ikterus obstruktif.

V. Gejala Klinis
Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.

GEJALA AKUT
TANDA :
1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme
2. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kwadran kanan atas
3. Kandung empedu membesar dan nyeri
4. Ikterus ringan

GEJALA:
1. Rasa nyeri (kolik empedu) yang Menetap
2. Mual dan muntah
3. Febris (38,5°°C)

GEJALA KRONIS
TANDA:
1. Biasanya tak tampak gambaran pada abdomen
2. Kadang terdapat nyeri di kwadran kanan atas

GEJALA:
1. Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat : abdomen bagian atas (mid epigastrium), Sifat : terpusat di epigastrium menyebar ke arah skapula kanan
2. Nausea dan muntah
3. Intoleransi dengan makanan berlemak
4. Flatulensi
5. Eruktasi (bersendawa)

VI. Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium :
1. Leukosit : 12.000 - 15.000 /iu (N : 5000 - 10.000 iu).
2. Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).
3. Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).
4. Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara Kapilar : 2 - 6 mnt).
5. USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya batu empedu dan distensi saluran empedu ( frekuensi sesuai dengan prosedur diagnostik)
6. Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui ductus duodenum.
7. PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi): Pemberian cairan kontras untuk menentukan adanya batu dan cairan pankreas.
8. Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik) : menunjukkan adanya batu di sistim billiar.
9. CT Scan : menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu, obstruksi/obstruksi joundice.
10. Foto Abdomen :Gambaran radiopaque (perkapuran ) galstones, pengapuran pada saluran atau pembesaran pada gallblader.

Daftar Pustaka :
1. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990, Jakarta, P: 586-588.
2. Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa AdiDharma, Edisi II.P: 329-330.
3. Marllyn E. Doengoes, Nursing Care Plan, Fa. Davis Company, Philadelpia, 1993.P: 523-536.
4. D.D.Ignatavicius dan M.V.Bayne, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, W. B. Saunders Company, Philadelpia, 1991.
5. Sutrisna Himawan, 1994, Pathologi (kumpulan kuliah), FKUI, Jakarta 250 - 251.
6. Mackenna & R. Kallander, 1990, Illustrated Physiologi, fifth edition, Churchill Livingstone, Melborne : 74 - 76.

VII. Pengkajian

1. Aktivitas dan istirahat:
· subyektif : kelemahan
· Obyektif : kelelahan

2. Sirkulasi :
· Obyektif : Takikardia, Diaphoresis

3. Eliminasi :
· Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
· Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran kanan atas, urine pekat .

4. Makan / minum (cairan)
Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit.
· Tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas.
· Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi.
· Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn).
· Ada peristaltik, kembung dan dyspepsia.

Obyektif :
· Kegemukan.
· Kehilangan berat badan (kurus).

5. Nyeri/ Kenyamanan :
Subyektif :
· Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu.
· Nyeri apigastrium setelah makan.
· Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit.

Obyektif :
Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot meregang /kaku hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan menunjukan tanda marfin (+).

6. Respirasi :
Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak nyaman.

7. Keamanan :
Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus , cenderung perdarahan ( defisiensi Vit K ).

8. Belajar mengajar :
Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami batu kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan pada saluran cerna bagian bawah.

Prioritas Perawatan :
a. Meningkatkan fungsi pernafasan.
b. Mencegah komplikasi.
c. Memberi informasi/pengetahuan tentang penyakit, prosedur, prognosa dan pengobatan

Tujuan Asuhan Perawatan :
a. Ventilasi/oksigenasi yang adekwat.
b. Mencegah/mengurangi komplikasi.
c. Mengerti tentang proses penyakit, prosedur pembedahan, prognosis dan pengobatan

Diagnosa Perawatan:
A. Pola nafas tidak efektif sehubungan dengan nyeri, kerusakan otot, kelemahan/ kelelahan, ditandai dengan :
· Takipneu
· Perubahan pernafasan
· Penurunan vital kapasitas.
· Pernafasan tambahan
· Batuk terus menerus

B. Potensial Kekurangan cairan sehubungan dengan :
· Kehilangan cairan dari nasogastrik.
· Muntah.
· Pembatasan intake
· Gangguan koagulasi, contoh : protrombon menurun, waktu beku lama.

C. Penurunan integritas kulit/jaringan sehubungan dengan
· Pemasanagan drainase T Tube.
· Perubahan metabolisme.
· Pengaruh bahan kimia (empedu)
ditandai dengan :
· adanya gangguan kulit.

D. Kurangnya pengetahuan tentang prognosa dan kebutuhan pengobatan, sehubugan dengan:
· Menanyakan kembali tentang imformasi.
· Mis Interpretasi imformasi.
· Belum/tidak kenal dengan sumber imformasi.
ditandai : . pernyataan yang salah.
. permintaan terhadap informasi.
. Tidak mengikuti instruksi.

Daftar Pustaka :
7. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990, Jakarta, P: 586-588.
8. Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa AdiDharma, Edisi II.P: 329-330.
9. Marllyn E. Doengoes, Nursing Care Plan, Fa. Davis Company, Philadelpia, 1993.P: 523-536.
10. D.D.Ignatavicius dan M.V.Bayne, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, W. B. Saunders Company, Philadelpia, 1991.
11. Sutrisna Himawan, 1994, Pathologi (kumpulan kuliah), FKUI, Jakarta 250 - 251.
12. Mackenna & R. Kallander, 1990, Illustrated Physiologi, fifth edition, Churchill Livingstone, Melborne : 74 - 76.

BRONCHOPNEUMONIA

1.Pengertian
Bronchopneumoni adalah radang pada paru – paru yang mengenai satu/beberapa lobus paru – paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrasi.
Biasanya gejala penyakt dating mendadak, tetapi kadang-kadang didahului oleh infeksi traktur respiratorius bagian atas. Pada anak besar bisa disertai anak menggigil dan pada bayi disertai kejang. Suhu naik cepat sampai 39-40C dan suhu ini biasanya tife febris kontinyu. Nafas menjadi sesak, disertai nafas cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri pada dada. Anak lebih suka tiduran pada sebelah dada yang terkena. Batuk mula-mula kering, kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik tampak gejala khas tampak setelah 1 – 2 hari. Pada permulaan suara pernafasan melemah sedangkan pada perkusi tidak jelas ada kelainan. Setelah terjadi kongesti, ronchi basah akan terdengar yang segera menghilang setelah terjadi konsolidasi. Kemudian pada perkusi jelas terjadi keredupan dengan suara pernafasan sub-bronchial sampai bronchial. Pada stadium revolusi ronchi terdengar lebih jelas. Pada inspeksi dan palpasi tampak pergeseran toraks yang terkena berkurang. Tanpa pengobatan bisa terjadi penyembuhan dengan krisis sesudah 5 – 9 hari.
2. Etiologi
Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus Aureus, Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander (Klebsial Pneumoni), Mycobacterium Tuberculosis.
Virus : Respiratory syntical virus, virus influenza, virus sitomegalik.
Jamur : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas, Blastomices Dermatides, Cocedirides Immitis, Aspergillus Sp, Candinda Albicans, Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah daya tahan tubuh yang menurun misalnya akibat malnutrisi energi protein (MEP), penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.

4. Manifestasi klinis
Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas. Penyakit ini umumnya timbul mendadak, suhu meningkat 39-40O C disertai menggigil, napas sesak dan cepat, batuk-batuk yang non produktif “napas bunyi” pemeriksaan paru saat perkusi redup, saat auskultasi suara napas ronchi basah yang halus dan nyaring.
Batuk pilek yang mungkin berat sampai terjadi insufisiensi pernapasan dimulai dengan infeksi saluran bagian atas, penderita batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia dan kesulitan menelan.
5. Pemeriksaan penunjang
1. Pengambilan sekret secara broncoscopy dan fungsi paru untuk preparasi langsung, biakan dan test resistensi dapat menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini tidak rutin dilakukan karena sukar.
2. Secara laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000 – 40.000 / m dengan pergeseran LED meninggi.
3. Foto thorax bronkopeumoni terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
a. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan kelainan sebelum hal ini dapat ditemukan secara pemeriksaan fisik. Pada bronchopneumonia bercak – bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsosolidasi pada satu atau beberapa lobus. Pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus. Foto rongent dapat juga menunjukkan adanya komplikasi pada satu atau beberapa lobus. Foto rongent dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, abses paru, perikarditis dll.

b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri. Kuman penyebab dapat dibiakkan dari usapan tenggorokan dan 30% dari darah. Urine biasanya berwarna lebih tua, mungkin terdapat albuminuria ringan karena suhu yang naik dan sedikit torak hialin.

6. Komplikasi
Dengan penggunaan antibiotika, komplikasi hampir tidak pernah dijumpai. Komplikasi yang dapat dijumpai ilaha, empiema, otitis media akut. Komplikasi lain seperti meningitis, perikarditis ( jarang dijumpai ).
7. Penatalaksanaan
Kemotherapi untuk mycoplasma pneumonia, dapat diberikan Eritromicin 4 X 500 mg sehari atau Tetrasiklin 3 – 4 mg sehari.
Obat-obatan ini meringankan dan mempercepat penyembuhan terutama pada kasus yang berat. Obat-obat penghambat sintesis SNA (Sintosin Antapinosin dan Indoksi Urudin) dan interperon inducer seperti polinosimle, poliudikocid pengobatan simtomatik seperti :
1. Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat dirumah.
2. Simptomatik terhadap batuk.
3. Batuk yang produktif jangan ditekan dengan antitusif
4. Bila terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan broncodilator.
5. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat. Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebab yang mempunyai spektrum sempit.


8.Prognosis
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang dating terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

TB PARU

1. Definisi
a. Tuberkolusis
Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon ( Hood Alsagaff, th 1995. hal 73)
b. Batuk Darah(Hemoptisis)
Batuk darah (hemoptisis)adalah darah atau dahak berdarah yang dibatukkan berasal dari saluran pernafasan bagian bawah yaitu mulai dari glottis kearah distal, batuk darah akan berhenti sendiri jika asal robekan pembuluh darah tidak luas , sehingga penutupan luka dengan cepat terjadi . (Hood Alsagaff, 1995, hal 301)
2. Faktor- factor yang mempengaruhi timbulnya masalah .
a. anatomi dan fisiologi
System pernafasan terdiri dari hidung , faring , laring ,trakea , bronkus , sampai dengan alveoli dan paru-paru
Hidung merupakan saluran pernafasan yang pertama , mempunyai dua lubang/cavum nasi. Didalam terdapat bulu yang berguna untuk menyaring udara , debu dan kotoran yang masuk dalam lubang hidung . hidung dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa (Drs. H. Syaifuddin. B . Ac , th 1997 , hal 87 )
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan , faring terdapat dibawah dasar tengkorak , dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher . faring dibagi atas tiga bagian yaitu sebelah atas yang sejajar dengan koana yaitu nasofaring , bagian tengah dengan istimus fausium disebut orofaring , dan dibagian bawah sekali dinamakan laringofaring .(Drs .H.syafuddin. B.Ac 1997 hal 88)
Trakea merupakan cincin tulang rawan yang tidak lengkap (16-20cincin), panjang 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa . trakea dipisahkan oleh karina menjadi dua bronkus yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri (Drs .H . Syaifuddin .B. Ac th 1997, hal 88-89)
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea yang membentuk bronkus utama kanan dan kiri , bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri cabang bronkus yang lebih kecil disebut bronkiolus yang pada ujung – ujung nya terdapat gelembung paru atau gelembung alveoli (H.Syaifuddin B Ac th1997, hal 89-90).
Paru- paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung – gelembung .paru-paru terbagi menjadi dua yaitu paru-paru kanan tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus . Paru-paru terletak pada rongga dada yang diantaranya menghadap ke tengah rongga dada / kavum mediastinum. Paru-paru mendapatkan darah dari arteri bronkialis yang kaya akan darah dibandingkan dengan darah arteri pulmonalis yang berasal dari atrium kiri.besar daya muat udara oleh paru-paru ialah 4500 ml sampai 5000 ml udara. Hanya sebagian kecil udara ini, kira-kira 1/10 nya atau 500 ml adalah udara pasang surut . sedangkan kapasitas paru-paru adalah volume udara yang dapat di capai masuk dan keluar paru-paru yang dalam keadaan normal kedua paru-paru dapat menampung sebanyak kuranglebih 5 liter. (Drs. H. Syaifuddin . B.Ac .th 1997 hal 90 , EVELYN,C, PIERCE , 1995 hal 221 )
Pernafasan ( respirasi ) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh ( inspirasi) serta mengeluarkan udara yang mengandung karbondioksida sisa oksidasi keluar tubuh ( ekspirasi ) yang terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru-paru .proses pernafasan tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu:
1. Ventilasi pulmoner.
Ventilasi merupakan proses inspirasi dan ekspirasi yang merupakan proses aktif dan pasif yang mana otot-otot interkosta interna berkontraksi dan mendorong dinding dada sedikit ke arah luar, akibatnya diafragma turun dan otot diafragma berkontraksi. Pada ekspirasi diafragma dan otot-otot interkosta eksterna relaksasi dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara terdorong keluar. (NI LUH GEDE.Y.A.SKp.1995.hal 124. Drs.H.Syaifuddin.B.Ac.1997.hal 91)
2. Difusi Gas.
Difusi Gas adalah bergeraknya gas CO2 dan CO3 atau partikel lain dari area yang bertekanan tinggi kearah yang bertekanann rendah. Difusi gas melalui membran pernafasan yang dipengaruhi oleh factor ketebalan membran, luas permukaan membran, komposisi membran, koefisien difusi O2 dan CO2 serta perbedaan tekanan gas O2 dan CO2. Dalam Difusi gas ini pernfasan yang berperan penting yaitu alveoli dan darah. (Ni Luh Gede.Y.A. SKP. Th 1995 hal 124, Drs. H. Syaifuddin. B.Ac.1997 hal 93 .Hood .Alsegaff th 1995 . hal 36-37)
3. Transportasi Gas
Transportasi gas adalah perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan darah ( aliran darah ). Masuknya O2 kedalam sel darah yang bergabung dengan hemoglobin yang kemudian membentuk oksihemoglobin sebanyak 97% dan sisa 3 % yang ditransportasikan ke dalam cairan plasma dan sel .(Ni Luh Gede Y. A. Skp th1995 hal 125 Hood Alsegaff th 1995 hal 40).
b. Patofisiologi
Penyebaran kuman Mikrobacterium tuberkolusis bisa masuk melalui tiga tempat yaitu saluran pernafasan , saluran pencernaan dan adanya luka yang terbuka pada kulit. Infeksi kuman ini sering terjadi melalui udara ( airbone ) yang cara penularannya dengan droplet yang mengandung kuman dari orang yang terinfeksi sebelumnya .( Sylvia.A.Price.1995.hal 754 )
Penularan tuberculosis paru terjadi karena penderita TBC membuang ludah dan dahaknya sembarangan dengan cara dibatukkan atau dibersinkan keluar. Dalam dahak dan ludah ada basil TBC-nya , sehingga basil ini mengering lalu diterbangkan angin kemana-mana. Kuman terbawa angin dan jatuh ketanah maupun lantai rumah yang kemudian terhirup oleh manusia melalui paru-paru dan bersarang serta berkembangbiak di paru-paru. ( dr.Hendrawan.N.1996,hal 1-2 )
Pada permulaan penyebaran akan terjadi beberapa kemungkinan yang bisa muncul yaitu penyebaran limfohematogen yang dapat menyebar melewati getah bening atau pembuluh darah. Kejadian ini dapat meloloskan kuman dari kelenjar getah bening dan menuju aliran darah dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan lesi pada organ tubuh yang lain. Basil tuberkolusis yang bisa mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil. Dengan adanya basil yang mencapai ruang alveolus, ini terjadi dibawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, maka hal ini bisa membangkitkan reaksi peradangan. Berkembangnya leukosit pada hari hari pertama ini di gantikan oleh makrofag.Pada alveoli yang terserang mengalami konsolidasi dan menimbulkan tanda dan gejala pneumonia akut. Basil ini juga dapat menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional, sehingga makrofag yang mengadakan infiltrasi akan menjadi lebih panjang dan yang sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit,proses tersebut membutuhkan waktu 10-20 hari. Bila terjadi lesi primer paru yang biasanya disebut focus ghon dan bergabungnya serangan kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami pencampuran ini juga dapat diketahui pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.Beberapa respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas.Pada proses ini akan dapat terulang kembali dibagian selain paru-paru ataupun basil dapat terbawa sampai ke laring ,telinga tengah atau usus.(Sylvia.A Price:1995;754)
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa adanya pengobatan dan dapat meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan perkijauan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijauan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak lepas.Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.(Syilvia.A Price:1995;754)
Batuk darah (hemaptoe) adalah batuk darah yang terjadi karena penyumbatan trakea dan saluran nafas sehingga timbul sufokal yang sering fatal. Ini terjadi pada batuk darah masif yaitu 600-1000cc/24 jam.Batuk darah pada penderita TB paru disebabkan oleh terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kapitas.(Hood Al sagaff dkk:1995;85-86).
3. Dampak Masalah
Pada keadaan tubericulosis paru muncul bermacam – macam masalah baik bagi penderita maupun keluarga.
a. Terhadap penderita
1). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Tidak semua penderita mengerti benar tentang perjalanan penyakitnya yang akan mengakibatkan kesalahan dalam perawatan dirinya serta kurangnya informasi tentang proses penyakitnya dan pelaksanaan perawatan dirumah kuman ini menyerang pada tubuh manusia yang lemah dan para pekerja di lengkungan yang udaranya sudah tercemar asap, debu, atau gas buangan (dr. Hendrawan Nodesu 1996, hal 14 – 15)
1). Pola nutrisi dan metabolisme
Pada penderita tuberculosis paru mengeluh adanya anoreksia, nafsu makan menurun, badan kurus, berat badan menurun, karena adanya proses infeksi (Marilyn. E. Doenges, 1999)
1). Pola aktivitas
Pada penderita TB paru akan mengalami penurunan aktivitas dan latihan dikarenakan akibat dari dada dan sesak napas (Marilyn. E. Doenges, 2000)
1). Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya nyeri dada dan baluk darah pada penderita TB paru akan mengakibatkan tergantung kenyamanan tidur dan istirahat (Marilyn. E. Doenges, 1999)
1). Pola hubungan dan peran
Penderita dengan TB paru akan mengalami gangguan dalam hal hubungan dan peran yang dikarenakan adanya isolasi untuk menghindari penularan terhadap anggota keluarga yang lain. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
1). Pola persepsi dan konsep diri
Ketakutan dan kecemasan akan muncul pada penderita TB paru dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang pernyakitnya yang akhirnya membuat kondisi penderita menjadi perasaan tak berbedanya dan tak ada harapan. (Marilyn. E. Doenges, 2000)
1). Pola penanggulangan stress
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan mengakibatan stress pada diri penderita, sehingga banyak penderita yang tidak menjutkan lagi pengobatan. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996, hal 23)
1). Pola eliminasi
Pada penderita TB paru jarang dan hampir tidak ada yang mengeluh dalam hal kebiasaan miksi maupun defeksi
1). Pola senson dan kognitif
Daya panca indera (perciuman, perabaan, rasa, penglihatan dan pendengaran) tidak ditemukan adanya gangguan
1). Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita TB paru pola reproduksi tidak ada gangguan tetapi pola seksual mengalami gangguan karena sesak nyeri dada dan batuk.
b. Dampak Masalah Keluarga
Pada keluarga yang salah satunya menderita tuberkulosis paru menimbulkan dampak kecemasan akan keberhasilan pengobatan, ketidaktahuan tentang masalah yang dihadapi, biaya yang cukup mahal serta kemungkinan timbulnya penularan terhadap anggota keluarga yang lain.

A. Asuhan Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 4 tahap yaitu : Pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. (H. Lismidar, 1990, IX)
1. Pengkajian
Pengkajian adalah komponen kunci dan pondasi proses keperawatan, pengkajian terbagi dalam tiga tahap yaitu, pengumpulan data, analisa data dan diagnosa keperawatan. (H. Lismidar, 1990. Hal 1)
a. Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan – urutan kegiatan yang dilakukan yaitu :
1). Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu yang lain. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996. Hal 1)
2). Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat mendorong penderita untuk mencari pengonbatan.
3). Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA efusi pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.
4). Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan penularannya.
5). Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain (dr. Hendrawan Nodesul, 1996).
6). Pola fungsi kesehatan
a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak – desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal dirumah yang sumpek. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996)
b). Pola nutrisi dan metabolik
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan menurun. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
c). Pola eliminasi
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi maupun defekasi
d). Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu aktivitas. (Marilyn. E. Doegoes, 1999)
e). Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
f). Pola hubungan dan peran
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena penyakit menular. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
g). Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan pendengaran) tidak ada gangguan.
h). Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa kawatir klien tentang penyakitnya. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
i). Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah karena kelemahan dan nyeri dada.
j). Pola penanggulangan stress
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap pengobatan. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996. Hal 23)
k). Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya aktifitas ibadah klien.
7). Pemeriksaan fisik
Berdasarkan sistem – sistem tubuh
a). Sistem integumen
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun
b). Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah. (Purnawan Junadi DKK, th 1982, hal 213)
Palpasi : Fremitus suara meningkat. (Hood Alsogaff, 1995. Hal 80)
Perkusi : Suara ketok redup. (Soeparman, DR. Dr. 1998. Hal 718)
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan yang nyaring. (Purnawan. J. dkk, 1982, DR. Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)
c). Sistem pengindraan
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan
d). Sistem kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 syang mengeras. (DR.Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)
e). Sistem gastrointestinal
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun. (DR.Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)
f). Sistem muskuloskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan. (Hood Al Sagaff, 1995. Hal 87)
g). Sistem neurologis
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 456
h). Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia
8). Pemeriksaan penunjang
a). Pemeriksaan Radiologi
Tuberkulosis paru mempunyai gambaran patologis, manifestasi dini berupa suatu koplek kelenjar getah bening parenkim dan lesi resi TB biasanya terdapat di apeks dan segmen posterior lobus atas paru – paru atau pada segmen superior lobus bawah. (Dr. dr. Soeparman. 1998). Hal 719)
b). Pemeriksaan laboratorium
(1). Darah
Adanya kurang darah, ada sel – sel darah putting yang meningkatkan serta laju endap darah meningkat terjadi pada proses aktif. (Head Al Sagaff. 1995. Hal 91)
(2). Sputum
Ditemukan adanya Basil tahan Asam (BTA) pada sputum yang terdapat pada penderita tuberkulosis paru yang biasanya diambil pada pagi hari. (DR. Dr. Soeparman dkk, 1998. Hal 719, Barbara. T. long. Long. Hal 447, th 1996)
(3). Test Tuberkulosis
Test tuberkulosis memberikan bukti apakah orang yang dites telah mengalami infeksi atau belum. Tes menggunakan dua jenis bahan yang diberikan yaitu : Old tuberkulosis (OT) dan Purifled Protein Derivative (PPD) yang diberikan dengan sebuah jarum pendek (1/2 inci) no 24 – 26, dengan cara mecubit daerah lengan atas dalam 0,1 yang mempunyai kekuatan dosis 0,0001 mg/dosis atau 5 tuberkulosis unit (5 TU). Reaksi dianggap bermakna jika diameter 10 mm atau lebih reaksi antara 5 – 9 mm dianggap meragukan dan harus di ulang lagi. Hasil akan diketahui selama 48 – 72 jam tuberkulosis disuntikkan. (DR. Dr. Soeparman, 1998, hal 721, Sylvia. A. price, 1995, hal 755, Barbara. C. long, 1996, hal 446)
b. Analisa data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan masalah klien. Masalah klien yang timbul yaitu, sesak napas, batuk, nyeri dada, nafsu makan menurun, aktivitas, lemas, potensial, penularan, gangguan tidur, gangguan harga diri.
c. Diagnosa keperawatn
Tahap akhir dari perkajian adalah merumuskan Diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang masalah kesehatan klien yang dapat diatas dengan tindakan keperawatan (H. Lismidar, 1990, 12)
Dari analisa data diatas yang ada dapat dirumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan tuberkulosis paru komplikasi haemaptoe sebagai berikut :
1). Ketidakefektifan pola pernapasan sehubungan dengan sekresi mukopurulen dan kurangnya upaya batuk (Marilyn E. Doenges, 1999)
2). Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang sehubungan dengan keletihan, anorerksia atau dispnea. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
3). Potensial terhadap transmisi infeksi yang sehubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang resiko potongan. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
4). Kurang pengetahuan yang sehubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan dirumah.
5). Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubugan dengan sekret kental, kelemahan dan upaya untuk batuk. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
6). Potensial terjadinya kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan penurunan permukaan efektif proses dan kerusakan membran alveolar – kapiler. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
7). Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak napas dan nyeri dada. (lynda, J. Carpenito, 1998)
2. Perencaaan
Setelah mengumpulkan data, mengelompokan dan menentukan Diagnosa keperawatan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun perencaan. Dalam tahap perencanaan ini meliputi 3 menentukan prioritas Diagnosa keperawatan, menentukan tujuan merencanakan tindakan keperawatan.
Dan Diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana keperawatan sebagai berikut :
a. Diagnosa keperawatan pertama : ketidakefektifan pola pernapasan yang sehubungan dengan sekresi mukopurulen dan kurangnya upaya batuk.
1. Tujuan : pola nafas efektif
2. Kriteria hasil :
- klien mempertahankan pola pernafasan yang efektif
- frekwensi irama dan kedalaman pernafasan normal (RR 16 – 20 kali/menit)
- dipsnea berkurang
3. Rencana tindakan
a). Kaji kualitas dan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori pernapasan : catat setiap peruhan
b). Kaji kualitas spotum : warna, bau, knsistensi
c). Auskultasi bunyi napas setiap 4 jam
d). Baringan klien untuk mengoptimalkan pernapasan : posisi semi fowler tinggi.
e). Bantu dan ajakan klien berbalik posisi, batuk dan napas dalam setiap 2 jam sampai 4 jam.
f). Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat - obatan
4. Rasional
a). Mengetahui penurunan bunyi napas karena adanya sekret
b). Mengetahui perubahan yang terjadi untuk memudahkan pengobatan selanjutnya.
c). Mengetahui sendiri mungkin perubahan pada bunyi napas
d). Membantu mengembangkan secara maksimal
e). Batuk dan napas dalam yang tetap dapat mendorong sekret laluar
f). Mencegah kekeringan mukosa membran, mengurangi kekentalan sekret dan memperbesar ukuran lumen trakeobroncial
b. Diagnosa keperawatan kedua : perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang sehubungan dengan anoreksia, keletihan atau dispnea.
1). Tujuan : terjadi peningkatan nafsu makan, berat badan yang stabil dan bebas tanda malnutrisi
2). Kriteria hasil
- Klien dapat mempertahankan status malnutrisi yang adekuat
- Berat badan stabil dalam batas yang normal
3). Rencana tindakan
a). Mencatat status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, integritas mukosa oral, riwayat mual / muntah atau diare.
b). Pastikan pola diet biasa klien yang disukai atau tidak
c). Mengkaji masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik
d). Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan
e). Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
f). Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan komposisi diet.
4). Rasional
a). Berguna dalam mendefenisikan derajat / wasnya masalah dan pilihan indervensi yang tepat.
b). Membantu dalam mengidentifukasi kebutuhan / kekuatan khusus. Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masakan diet.
c). Berguna dalam mengukur keepektifan nutrisi dan dukungan cairan
d). Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputun atau obat untuk pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
e). Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu / legaster.
f). Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.
c. Diagnosa keperawatan ketiga : potensial terhadap tranmisi infeksi yang sehubungan dengan kurangnya pengtahuan tentang resiko patogen.
1). Tujuan : klien mengalami penurunan potensi untuk menularkan penyakit seperti yang ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien untuk mengubah tes kulit positif.
2). Kriteria hasil :
klien mengalami penurunan potensi menularkan penyakit yang ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien.
3). Rencana tindakan.
a). Identifikasi orang lain yang berisiko. Contah anggota rumah, sahabat.
b). Anjurkan klien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tisu dan hindari meludah serta tehnik mencuci tangan yang tepat.
c). Kaji tindakan. Kontrol infeksi sementara, contoh masker atau isolasi pernafasan.
d). Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengatifan berulang tuberkulasis.
e). Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
f). Kolaborasi dan melaporkan ke tim dokter dan Depertemen Kesehatan lokal.
4). Rasional
a). Orang yang terpajan ini perlu program terapi obat intuk mencegah penyebaran infeksi
b). Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi
c). Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi klien dengan membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular
d). Pengetahuan tentang faktor ini membantu klien untuk mengubah pola hidup dan menghindari insiden eksaserbasi
e). Periode singkat berakhir 2 sampai 3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada adanya rongga atau penyakit luas, sedang resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan
f). Membantu mengidentifikasi lembaga yang dapat dihubungi untuk menurunkan penyebaran infeksi
d. Diagnosa keperawatan keempat : kurangnya pengetahuan yang berhungan dengan kuranganya impormasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan di rumah.
1). Tujuan : klien mengetahui pengetahuan imformasi tentang penyakitnya
2). Kriteria hasil :
Klien memperlihatkan peningkatan tingkah pengetahuan mengenai perawatan diri.
3) Rencana tindakan
a) Kaji kemampuan klien untuk belajar mengetahui masalah, kelemahan, lingkungan, media yang terbaik bagi klien.
b) Identifikasi gejala yang harus dilaporkan keperawatan, contoh hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas.
c) Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan pengobatan lama,kaji potensial interaksi dengan obat lain.
d) Kaji potensial efek samping pengobatan dan pemecahan masalah.
e) Dorong klien atau orang terdekat untuk menyatakan takut atau masalah, jawab pertanyaan secara nyata.
f) Berikan intruksi dan imformasi tertulis khusus pada klien untuk rujukan contoh jadwal obat.
g) Evaluasi kerja pada pengecoran logam / tambang gunung, semburan pasir.
4) Rasional
a) Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
b) Dapat menunjukkan kemajuan atau pengaktifan ulang penyakit atau efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
c) Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi klien.
d) Mencegah dan menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan terapi dan meningkatkan kerjasama dalam program.
e) Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi / peningkatan ansietas.
f) Informasi tertulis menurunkan hambatan klien untuk mengingat sejumlah besar informasi. Pengulangan penguatkan belajar.
g) Terpajan pada debu silikon berlebihan dapat meningkatkan resiko silikosis, yang dapat secara nagatif mempengaruhi fungsi pernafasan.
e. Diagnosa keperawatan kelima : ketidakefektifan jalan nafas yang sehubungan dengan sekret kental, kelemahan dan upaya untuk batuk.
1) Tujuan : jalan nafas efektif
2) Kriteria hasil :
- klien dapat mengeluarkan sekret tanpa bantuan
- klien dapat mempertahankan jalan nafas
- pernafasan klien normal (16 – 20 kali per menit)
3) Rencana tindakan :
a) Kaji fungsi pernafasan seperti, bunyi nafas, kecepatan, irama, dan kedalaman penggunaan otot aksesori
b) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif.
c) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi, bantu klien untuk batuk dan latihan untuk nafas dalam.
d) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea.
e) Pertahanan masukan cairan seditnya 2500 ml / hari, kecuali ada kontraindikasi.
f) Lembabkan udara respirasi.
g) Berikan obat-obatan sesuai indikasi : agen mukolitik, bronkodilator , dan kortikosteroid.
4) Rasional.
a) Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronkhi, mengi menunjukkan akumulasi sekret / ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja penafasan.
b) Pengeluaran sulit jika sekret sangat tebal sputum berdarah kental diakbatkan oleh kerusakan paru atau luka brongkial dan dapat memerlukan evaluasi lanjut.
c) Posisi membatu memaksimalkan ekspansi paru dan men urunkan upaya pernapasan. Ventilasi maksimal meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan napas bebas untuk dilakukan.
d) Mencegah obstruksi /aspirasi penghisapan dapat diperlukan bila klien tak mampu mengeluaran sekret.
e) Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengecerkan sekret membuatnya mudah dilakukan.
f) Mencegah pengeringan mambran mukosa, membantu pengenceran sekret.
g) Menurunkan kekentalan dan perlengketan paru, meningkatkan ukuran kemen percabangan trakeobronkial berguna padu adanya keterlibatan luas dengan hipoksemia.
f. Diagnosa keperawatan keenam : potensial terjadinya kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan penurunan permukaan efektif paru dan kerusakan membran alveolar – kapiler.
1) Tujuan : Pertukaran gas berlangsung normal
2) Kreteria hasil :
- Melaporkan tak adanya / penurunan dispnea
- Klien menunjukan tidak ada gejala distres pernapasan
- Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal
3) Rencana tindakan
a) Kaji dispnea, takipnea, menurunya bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan terbatasnya ekspansi dinding dada
b) Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sionosis perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa
c) Tujukkan / dorong bernapas bibir selama ekshalasi
d) Tngkatkan tirah bang / batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan
e) Awasi segi GDA / nadi oksimetri
f) Berikan oksigen tambahan yang sesuai
4) Rasional
a) TB paru menyebabkan efek luas dari bagian kecil bronko pneumonia sampai inflamasidifus luas. Efek pernapasan dapat dari ringan sampai dispnea berat sampai distress pernapasan
b) Akumulasi sekret . pengaruh jalan napas dapat menganggu oksigenasi organ vital dan jarigan
c) Membuat, sehingga tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps membantu menyebabkan udara melalui paru dan menghilangkan atau menurtunkan napas pendek
d) Menurunkan konsumsi oksigen selama periode menurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala
e) Penurunan kandungan oksigen (PaO2) dan atau saturasi atau peningkatan PaCO2 menunjukan kebutuhan untuk intervensi / perubahan program terapi
f) Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi atau menurunya permukaan alveolar paru.
g. Diagnosa keperawatn ketujuh : Gangguan pemenuhan tidur dan istirahat sehubungan dengan sesak napas dan nyeri dada.
1) Tujuan : kebutuhan tidur terpenuhi
2) Kriteria hasil :
- memahami faktor yang menyebabkan gangguan tidur
- Dapat menangani penyebab tidur yang tidak adekuat
- Tanda – tanda kurang tidur dan istirahat tidak ada
3) Rencana tindakan
a) kaji kebiasaan tidur penderita sebelum sakit dan saat sakit
b) Observasi efek abot – obatan yang dapat di derita klien
c) Mengawasi aktivitas kebiasaan penderita
d) Anjurkan klien untuk relaksasi pada waktu akan tidur.
e) Ciptakan suasana dan lingkungan yang nyaman
4) Rasional
a) Untuk mengetahui sejauh mana gangguan tidur penderita
b) Gangguan psikis dapat terjadi bila dapat menggunakan kartifosteroid temasuk perubahan mood dan uisomnia
c) Untuk mengetahui apa penyebab gangguan tidur penderita
d) Memudahkan klien untuk bisa tidur
e) Lingkungan dan siasana yang nyaman akan mempermudah penderita untuk tidur.
3. Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini, fase pelaksanaan terdiri dari berbagai kegiatan yaitu :
1. Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan konsulidasi
2. Keterampilan interpersonal, intelektual, tehnical, dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat
3. Keamanan fisik dan psikologia dilindungi
4. Dokumentasi intervensi dan respon klien
( Budi Anna keliat, SKP, th 1994, hal 13)
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan (Diagnosa, tujuan untervensi) harus di evaluasi, dengan melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan lainnya dan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan tercapai atau tidak untuk melakukan perkajian ulang jika tindakan belum hasil.
Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan berhasil atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapu alternatif tersebut adalah :
1. Tujuan tercapai
2. Tujuan tercapai sebagian
3. Tujuan tidak tercapai
(Budi Anna Keliat, SKP, th 1994, hal 69

UROLITHIASIS

Pengertian
Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang tumbuh sebagai pencetus larutan urin. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam velvis ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah.

Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
a. Faktor Endogen
Faktor genetik, familial, pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan hiperoksalouria.

b. Faktor Eksogen
Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum.

c. Faktor lain
a) Infeksi
Infeksi Saluran Kencing (ISK) dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan Batu Saluran Kencing (BSK) Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH Urine menjadi alkali.

b) Stasis dan Obstruksi Urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah Infeksi Saluran Kencing.

c) Jenis Kelamin
Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita dengan perbandingan 3 : 1

d) Ras
Batu Saluran Kencing lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia.

e) Keturunan
Anggota keluarga Batu Saluran Kencing lebih banyak mempunyai kesempatan

f) Air Minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat.

g) Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu dari pada pekerja yang lebih banyak duduk.

h) Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringan.

i) Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditas Batu Saluran Kencing berkurang. Penduduk yang vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering menderita Batu Saluran Kencing (buli-buli dan Urethra).

Patogenesis
Sebagian besar Batu Saluran Kencing adalah idiopatik, bersifat simptomatik ataupun asimptomatik.

Teori Terbentuknya Batu
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik Sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristalisasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat.
d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat
Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing.

PENGKAJIAN DATA DASAR
1. Riwayat atau adanya faktor resiko
a. Perubahan metabolik atau diet
b. Imobilitas lama
c. Masukan cairan tak adekuat
d. Riwayat batu atau Infeksi Saluran Kencing sebelumnya
e. Riwayat keluarga dengan pembentukan batu

2. Pemeriksaan fisik berdasarka pada survei umum dapat menunjukkan :
a. Nyeri. Batu dalam pelvis ginjal menyebabkan nyeri pekak dan konstan. Batu ureteral menyebabkan nyeri jenis kolik berat dan hilang timbul yang berkurang setelah batu lewat.
b. Mual dan muntah serta kemungkinan diare
c. Perubahan warna urine atau pola berkemih, Sebagai contoh, urine keruh dan bau menyengat bila infeksi terjadi, dorongan berkemih dengan nyeri dan penurunan haluaran urine bila masukan cairan tak adekuat atau bila terdapat obstruksi saluran perkemihan dan hematuri bila terdapat kerusakan jaringan ginjal

TRAUMA URETHRA

I. PENGERTIAN
Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat trauma dan kebanyakan disertai fraktur tulang panggul, khususnya os pubis (simpiolisis).

II. RUPTUR URETRA DIBAGI DUA MACAM :
1. Ruptur uretra anterior : paling sering pada bulbosa disebut Straddle Injury, dimana robekan uretra terjadi antara ramus inferior os pubis dan benda yang menyebabkannya.
2. Ruptur uretra posterior : paling sering pada membranacea.

III. PENYEBAB RUPTUR URETRA
Adanya trauma pada perut bagian bawah, panggul, genetalia eksterna maupun perineum.

IV. GAMBARAN KLINIK
RUPTUR URETRA POSTERIOR
- Terdapat tanda patah tulang pelvis.
- Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematom dan nyeri tekan.
- Bila disertai ruptur kandung kemih bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum.

RUPTUR URETRA ANTERIOR
- Terdapat daerah memar atu hematom pada penis dan scrotum (kemungkinan ekstravasasi urine).

RUPTUR URETRA TOTAL
- Penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi ruda paksa.
- Nyeri perut bagian bawah dan daerah supra pubic.
- Pada perabaan mungkin dijumpai kandung kemih yang penuh.

v. PENATALAKSANAAN
- Pada ruptur anterior yang partial cukup dengan memasang kateter dan melakukan drainase bila ada.
- Pada anterior ruptur yang total hendaknya sedapat mungkin dilakukan penyambungan dengan membuat end-to-end, anastomosis dan suprapubic cystostomy.
- Pada ruptur uretra posterior yang total suprapubic cystostomy 6-8 minggu.
- Pada ruptur uretra posterior yang partial cukup dengan memasang douwer kateter.

VI .PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
- Tampak adanya defek uretra anterior daerah bulbus dengan ekstravasasi bahan kontras uretografi retrograd.

VII. KOMPLIKASI
A. Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra
- Infeksi
- Hematoma
- Abses periuretral
- Fistel uretrokutan
- Epididimitis
B. Komplikasi lanjut
- Striktura uretra
- Khusus pada ruptur uretra posterior dapat timbul :
* Impotensi
* Inkontinensia

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN RUPTURA URETHRA TRAUMATIK

PENGKAJIAN

BIODATA
Jenis kelamin laki-laki lebih dari pada wanita

RIWAYAT KESEHATAN PASIEN
Riwayat penyakit dahulu : -
Riwayat penyakit sekarang :
Nyeri tekan , memar atau hematum , hematuri
_Bila terjadi ruptur total urethra anuria

PEMERIKSAAN FISIK
adanya trauma didaerah perineum
adanya perdarahan per urethra
adanya nyeri tekan pada daerah supra pubik dan abdomen bagian bawah
adanya jejas pada daerah supra pubik dan abdomen bagian bawah
adanya fraktur tulang pelvis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologi
_tampak adanya defek urethra anterior daerah bulbus dengan ektra vasasi bahan kontras uretrografi retrograd

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) b-d adanya trauma urethra
Anxietas b-d kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
Potensial infeksi b d efek pemasangan DK
Gangguan eliminasi urine ( retensio urine ) b-d adanya hematoma dan ekstravasasi
Intoleransi aktivitas b-d adanya trauma urethra

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) b-d adanya trauma urethraTujuan : menyatakan atau menunjukkan nyeri hilang Kriteria hasil : menunjukkan kemampuan untuk membantu dalam tindakan kenyamanan umum dan mampu untuk tidur / istirahat dengan tenang
Intervensi1. Kaji nyeri meliputi lokasi , karakteristik , lokasi, intensitas ( skala 0-10 ) R. membantu evaluasi derajat ketidak nyamanan dan deteksi dini terjadinya komplikasi.2. Perhatikan aliran dan karakteristik urine R. penurunan aliran menunjukkan retensi urine ( s-d edema ), urine keruh mungkin normal ( adanya mukus ) atau mengindikasikan proses infeksi.3. Dorong dan ajarkan tehnik relaksasi R. mengembalikan perhatian dan meningkatkan rasa kontrol4. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesik R. menghilangkan nyeri5. Lakukan persiapan pasien dalam pelaksanaan tindakan medispemasangan DK
drainase
cistostomy
R. persiapan secara matang akan mendukung palaksanaan tindakan dengan baik

Anxietas b-d kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
Tujuan :
menunjukkan penurunan anxietas dan menyatakan pemahaman tentang proses penyakitnya
Kriteria hasil :
mengungkapkan masalah anxietas dan tak pasti pada pemberi perawatan atau orang terdekat
mengidentifikasi mekanisme koping yang adaptif
memulai penggunaan tehnik relaksasi
kooperatif terhadap tindakan yang dilakukan
Intervensi
1. Ajarkan tentang proses penyakit dan penyebab penyakit
R. dengan pengajaran meningkatkan pengetahuan pasien , menurunkan kecemasan pasien
2. Anjurkan pasien dan orang terdekat untuk mengungkapkan tentang rasa takut , berikan privasi tanpa gangguan , sediakan waktu bersama mereka untuk mengembangkan hubungan
R. pasien yang merasa nyaman berbicara dengan perawat , mereka sering dapat memahami dan memasukkan perubahan kebutuhan dalam praktek dengan sedikit kesulitan.
3. Beri informasi dan diskusikan prosedur dan pentingnya prosedur medis dan perawatan
R. informasi yang adekuat meningkatkan pengetahuan dan koopereratif pasien
4. Orientasikan pasien terhadap lingkungan , obat-obatan , dosis , tujuan , jadwal dan efek samping , diet , prosedur diagnostik
R. pengorientasian meningkatkan pengetahuan pasien

Potensial infeksi b-d efek pemasangan DK
Tujuan :
menurunkan atau mencegah terjadinya infeksi
Kriteria hasil :
tidak terdapat tanda-tanda infeksi
Intervensi :
1. Pertahankan tehnik steril dalam pemasangan kateter , berikan perawatan kateter steril dalam manipulasi selang
R. mencegah pemasukan bakteri dan kontaminasi yang menyebabkan infeksi
2. Gunakan tehnik mencuci tangan yang baik dan ajarkan serta anjurkan pasien melakukan hal yang sama
R. mengurangi kontaminasi yang menyebabkan infeksi
3. Observasi tanda-tanda infeksi
R. deteksi dini adanya infeksi dan menentukan tindakan selanjutnya
4. Perhatikan karakter , warna , bau , dari drainase dari sekitar sisi kateter
R. drainase purulent pada sisi insersi menunjukkan adanya infeksi lokal
5. Intruksikan pasien untuk menghindari menyentuh insisi , balutan dan drainase
R. mencegah kontaminasi penyebab penyakit
6. Kolaborasi dalam pemberian anti biotika sesuai indikasi
R. mengatasi infeksi dan mencegah sepsis

DAFTAR PUSTAKA
Tucker Susan Martin, Et all , Standar Perawatan Pasien , volume 3 , EGC ,
Peter M Mowschenson , Ilmu Bedah Untuk Pemula , Edisi 2 , Bina Rupa aksara , 1983 , Jakarta
Hidayat Samsu , Ilmu Bedah , Edisi revisi, EGC , 1998 , Jakarta
Depkes RI , ASKEP Pasien dengan Gg Penyakit Sistem Urologi , 1996 , Jakarta
Doungoes Marilin E.

GLOMERULONEFRITIS AKUT

A. PENGERTIAN
GNA adalah reaksi imunologi pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu. Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus, sering ditemukan pada usia 3-7 tahun.
(Kapita Selecta, 2000)

B. ETIOLOGI
 Streptococcus beta hemoliticus group A.
 Keracunan (timah hitam, tridion)
 Penyakit sipilis
 Trombosis vena renalis
 Penyakit kolagen
(Kapita Selecta, 2000)

C. MANIFESTASI KLINIK
1. Hematuria
2. Oliguria
3. Edema ringan sekitar mata atau seluruh tubuh
4. Gangguan gastrointestinal
5. Sakit kepala, merasa lemah
6. Nyeri pinggang menjalar sampai ke abdomen

D. PENATALAKSANAAN
1. Istirahat selama 1-2 minggu
2. Modifikasi diet.
3. Pembatasan cairan dan natrium
4. pembatasan protein bila BUN meningkat.
5. Antibiotika.
6. Anti hipertensi
7. Pemberian diuretik furosemid intravena (1 mg/kgBB/kali)
8. Bila anuria berlangsung lama (5-7hari) dianjurkan dialisa peritoneal atau hemodialisa.

E. PENGKAJIAN
1. Riwayat kesehatan umum, meliputi Gg/peny. yang lalu, berhubungan dengan peny. sekarang. Contoh: ISPA
2. Riwayat kesehatan sekarang,Meliputi; keluhan/gg. yang berhubungan dgn. Peny. saat ini. Seperti; mendadak, nyeri abdomen,Pinggang, edema.

F. PENGKAJIAN FISIK
1. Aktivitas/istirahat
- Gejala: kelemahan/malaise
- Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus otot
2. Sirkulasi
- Tanda: hipertensi, pucat,edema
3. Eliminasi
- Gejala: perubahan pola berkemih (oliguri)
- Tanda: Perubahan warna urine (kuning pekat, merah)
4. Makanan/cairan
- Gejala: peBB (edema), anoreksia, mual,muntah
- Tanda: penurunan haluaran urine
5. Pernafasan
- Gejala: nafas pendek
- Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman (pernafasan kusmaul)
6. Nyeri/kenyamanan
- Gejala: nyeri pinggang, sakit kepala
- Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada laboratorium didapatkan:
 Hb menurun
 Ureum dan serum kreatinin meningkat
 Elektrolit serum (natrium meningkat)
 Urinalisis (BJ. Urine meningkat, albumin , Eritrosit , leukosit )
 Pada rontgen:
IVP abnormalitas pada sistem penampungan (Ductus koligentes)

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan bd.produksi urine yang menurun akibat dari penurunan filtrasi ginjal.
2. perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan bd. Intake yang kurang.
3. Intoleransi aktivitas bd. Kelemahan fisik, bedrest.
4. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit (infeksi sekunder) bd. Perubahan metabolisme dan sirkkulasi tubuh.

I. IMPLEMENTASI
Diagnosa keperawatan 1.
 Observasi tanda vital tiap 2 jam
 Kaji status cairan, observasi intake dan output
 Jelaskan pada pasien pentingnya pembatasan cairan
 Timbang BB tiap hari pada waktu, alat dan pakaian yang sama
 Observasi hasil lab: BJ. Urine, Albumin, elektrolit, darah (kalium dan natrium)
Diagnosa keperawatan 2.
 Catat pemasukan makanan setiap kali habis makan
 Catat gejala yg timbul stlh makan, seperti: mual muntah
 Kaji pola dan kebiasaan makan pasien
 Sajikan makanan yang menarik dan selalu hangat, porsi kecil tapi sering.
 Pemberian diet tinggi kalori rendah protein, tinggi karbo hidrat rendah garam.
 Observasi hasil lab: BUN dan serum creatinin.
Diagnosa Keperawatan 3.
 Kaji aktivitas yang biasa dilakukan Pasien setiap hari
 Anjurkan pasien melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya
 Bantu aktivitas yang belum dapat dilakukan sendiri oleh pasien.
 Batasi aktivitas pasien selama di rawat
Diagnosa Keperawatan 4.
 Jelaskan pd pasien tujuan dari setiap tind. yg dilakukan.
 Observasi keadaaan perkembangan kulit setiap hari.
 Kebersihan kuku.
 Miring kiri-kanan setiap 2 jam.
 Lakukan masase,olesi minyak untuk memperlancar aliran darah
 Pertahankan kondisi kulit tetap kering.
 Anjurkan pasien memakai pakaian/alat-alat tenun dari bahan katun

J. EVALUASI
 Intake dan output cairan seimbang.
 Tidak ada udema.
 Tanda-tanda vital: TD: 120/80 mmHg, RR: 20 X/m, HR: 80 X/mt, suhu: 367o C.
 Kadar elektrolit darah normal.
 Tidak ada mual, muntah.
 Pasien dapat menghabiskan porsi makanan yang dihidangkan.
 Tidak ada gatal-gatal dan lecet pada kulit.
 Tahan terhadap aktivitas tanpa ada kelelahan.

BPH

Pengertian Benigne Prostat Hyperplasia
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994 : 193).

Etiologi/Penyebabnya
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benigne Prostat Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4. Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).

Anatomi Dan Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
• Jaringan Kelenjar  50 - 70 %
• Jaringan Stroma (penyangga)
• Kapsul/Musculer
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.

Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 : 11)
Gejala Benigne Prostat Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

Derajat Benigne Prostat Hyperplasia
Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

Pengkajian
Riwayat Keperawatan
• Suspect BPH  umur > 60 tahun
• Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.
• Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi.
• BPH  hematuri

1. Pemeriksaan Fisik
• Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
• Distensi kandung kemih
• Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik  retensi urine
• Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil  retensi urine
• Perkusi : Redup  residual urine
• Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
• Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur)  posisi knee chest
Syarat : buli-buli kosong/dikosongkan
Tujuan : Menentukan konsistensi prostat
Menentukan besar prostat

2. Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
a. Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia
b. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
c. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benigne Prostat Hyperplasia atau tidak

Beberapa Pemeriksaan Radiologi
a. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi, dipertikel buli.
Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis
Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
b. BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
c. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur uretra.
d. USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai pembesaran prostat jinak/ganas

3. Pemeriksaan Endoskopi.

4. Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli
Q max : > 15 ml/detik  non obstruksi
10 - 15 ml/detik  border line
< 10 ml/detik  obstruktif

5. Pemeriksaan Laborat
• Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)
Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah Merah atau PUS.
• RFT  evaluasi fungsi renal
• Serum Acid Phosphatase  Prostat Malignancy

Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
1. Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi (retensio urine) baik akut maupun kronis berhubungan dengan obstruksi akibat pembesaran prostat/dekompresi otot detrussor ditandai dengan urine menetes, sering buang air kecil, buang air kecil sedikit-sedikit tidak bisa mengosongkan kandung kencing secara total, distensi kandung kencing.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iritasi mukosa/distensi kandung kencing/kolik renal/infeksi saluran kencing ditandai dengan keluhan nyeri spasme kandung kemih, perubahan tonus otot, merintih kesakitan.
3. Cemas berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan serta penurunan kemampuan sexual ditandai dengan peningkatan tensi, ungkapan rasa takut
4. Dysfungsi sexual berhubungan dengan obstrusi perkemihan.
5. Kurang pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi /terbatasnya informasi/informasi yang keliru ditandai dengan pasien sering bertanya, perintah yang tidak dituruti dan perkembangan infeksi tidak dapat dicegah.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering miksi pada malam hari
7. Resiko injury dan resiko infeksi berhubungan dengan obstruksi perkemihan
8. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang lama

Diagnosa Keperawatan Post Operasi
1. Terjadinya perdarahan berhubungan dengan tindakan bedah (reseksi).
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat reseksi
3. Cemas berhubungan dengan proses penyakitnya yang masih dapat kambuh lagi.
4. Resiko terjadinya retensi urine berhubungan dengan obstruksi saluran kateter oleh bekuan darah/klot.
5. Resiko terjadinya kelebihan cairan dalam tubuh (Syndroma TUR) berhubungan dengan adanya penyerapan cairan irigasi yang berlebihan.

Perencanaan/Penatalaksanaan
Tujuan: klien tidak akan mengalami berbagai komplikasi dari pengobatan retensi Urine.

Intervensi:
A Non Pembedahan
1. Memperkecil gejala obstruksi  hal-hal yang menyebabkan pelepasan cairan prostat.
1) Prostatic massage
2) Frekuensi coitus meningkat
3) Masturbasi

2. Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan diuretic mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot detrussor menurun.

3. Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic, anti histamin, decongestan.

4. Observasi Watchfull Waiting
Yaitu pengawasan berkala/follow – up tiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
Indikasi : BPH dengan IPPS Ringan
Baseline data normal
Flowmetri non obstruksi

5. Terapi medikamentosa pada Benigne Prostat Hyperplasia
Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih terdapat kontra indikasi atau belum “well motivated”. Obat yang digunakan berasal dari Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker.
a. Fito Terapi
a) Hypoxis rosperi (rumput)
b) Serenoa repens (palem)
c) Curcubita pepo (waluh )

b. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :
a) Inhibitor 5 alfa reduktase
b) Anti androgen
c) Analog LHRH

c. Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-prostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin

6. Bila terjadi retensi urine
a. Kateterisasi  Intermiten
Indwelling
b. Dilakukan pungsi blass
c. Dilakukan cystostomy

7. Prostetron (Trans Uretral Microwave Thermoterapy/TUMT)

B. Pembedahan
1. Trans Uretral Reseksi Prostat : 90 - 95 %
2. Open Prostatectomy : 5 - 10 %
BPH yang besar (50 - 100 gram)  Tidak habis direseksi dalam 1 jam.
Disertai Batu Buli Buli Besar (>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR tak ada.

Mortalitas Pembedahan BPH
0 - 1 % KAUSA : Infark Miokatd
Septikemia dengan Syok
Perdarahan Massive
Kepuasan Klien : 66 – 95 %

Indikasi Pembedahan BPH
 Retensi urine akut
 Retensi urine kronis
 Residual urine lebih dari 100 ml
 BPH dengan penyulit
 Hydroneprosis
 Terbentuknya Batu Buli
 Infeksi Saluran Kencing Berulang
 Hematuri berat/berulang
 Hernia/hemoroid
 Menurunnya Kualitas Hidup
 Retensio Urine
 Gangguan Fungsi Ginjal
 Terapi medikamentosa tak berhasil
 Sindroma prostatisme yang progresif
 Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif
 Flow. Max kurang dari 10 ml
 Kurve berbentuk datar
 Waktu miksi memanjang

Kontra Indikasi
• IMA
• CVA akut

Tujuan :
• Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli
• Memperbaiki kualitas hidup
1) Trans Uretral Reseksi Prostat  90 - 95 %
Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.
Keuntungan :
• Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan
• Tak perlu insisi pembedahan
• Hospitalisasi dan penyebuhan pendek
Kerugian :
• Jaringan prostat dapat tumbuh kembali
• Kemungkinan trauma urethra  strictura urethra.

2) Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
 Prostat terlalu besar tetapi tak ada masalah kandung kemih

3) Perianal Prostatectomy
 Pembesaran prostat disertai batu buli-buli
 Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif
 Memperbaiki komplikasi : laserasi kapsul prostat

4) Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy

PRE OPERATIF CARE
Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan memberikan informasi yang akurat pada klien
• Type pembedahan
• Jenis anesthesi  TUR – P, general / spina anesthesi
• Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).

Persiapan orerasi lainnya yaitu :
• Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit
• Pemeriksaan EKG
• Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.
• Pemeriksaan Uroflowmetri  Bagi penderita yang tidak memakai kateter.
• Pemasangan infus dan puasa
• Pencukuran rambut pubis dan lavemen.
• Pemberian Anti Biotik
• Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).

POST OPERATIF CARE
Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring terhadap respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :
1. Airway : Bebaskan jalan fafas
Posisi kepala ekstensi
Breathing : Memberikan O2 sesuai dengan kebutuhan
Observasi pernafasan
Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan produksi urine pada fase awal (6jam) paska operasi harus dimonitor setiap jam dan harus dicatat.
Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali
Bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah pekat harus waspada terjadinya perdarahan  segera cek Hb dan lapor dokter.
Tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi), kadar natrium menurun, gelisah atau delir harus waspada terjadinya syndroma TUR  segera lapor dokter.
Bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya apakah kateter buntu oleh bekuan darah  terjadi retensi urine dalam buli-buli  lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan tergantung dari warna urine yang keluar dari Urobag. Bila urine sudah jernih tetesan spoling hanya maintennens/dilepas dan bila produksi urine masih merah spoling diteruskan sampai urine jernih.
Bila perlu Analisa Gas Darah
Apakah terjadi kepucatan, kebiruan.
Cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.

2. Pemberian Anti Biotika
 Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur urine sebelum operasi steril. Antibiotik hanya diberikan 1 X pre operasi + 3 – 4 jam sebelum operasi.
 Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari hasil kultur urine positif. Lama pemberian + 2 minggu, mula-mula diberikan parenteral diteruskan peroral. Setiap melepas kateter harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah septicemia.

3. Perawatan Kateter
Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang (treeway catheter) ukuran 24 Fr.
Ketiga lubang tersebut gunanya :
1. untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan
2. untuk melakukan irigasi/spoling
3. untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).

Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5 kg. Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke paha bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk mencegah perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli, membeku dan menyumbat pada kateter.
Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli karena mengalami ischemia.

Tujuan pemberian spoling/irigasi :
1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ

Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling dipercepat dan warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih, maka spoling dapat dihentikan dan pipa spoling dilepas.
Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan miksi penderita. Bisa atau tudak, bila bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat atau dilakukan uroflowmetri.

Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :
1. Terbentuknya bekuan darah
2. Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat obstruksi.

A. TUR – P
Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon 30 – 40 ml. Kateter di tarik untuk membantu hemostasis
Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder Otot bladder kontraksi  nyeri spasme
CBI (Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin  mencegah obstruksi atau komplikasi lain CBI – P. Folley cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya
Ketika kateter diangkat timbul keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran  normal
Post TUR – P : urine bercampur bekuan darah, tissue debris  meningkat  intake cairan minimal 3000 ml/hari  membantu menurunkan disuria dan menjaga urine tetap jernih.

B. OPEN PROSTATECTOMY
Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme atau pergerakan
Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam
Arterial bleeding  urine kemerahan (saos) + clotting
Venous bleeding  urine seperti anggur  traction kateter
Vetropubic prostatectomy
Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat  deep wound infection, pelvic abcess
Suprapubic prostatectomy
 Perlu Continuous Bladder Irigation via suprapubic  klien diinstruksikan tetap tidur sampai Continuous Bladder Irigation dihentikan
 Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op
 Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh miksi dan dicek residual urine, jika residual urine ± 75 ml, kateter diangkat

EVALUASI
Kreteria yang diharapkan terhadap diagnosis yang berhubungan dengan obstruksi urinari adalah :
1. Mengatasi obstruksi urine tanpa infeksi atau komplikasi yang permanen
2. Tidak mengalami tekanan atau nyeri berkepanjangan
3. Mengungkapkan penurunan atau tak adanya kecemasan tentang retensio urine.
4. Menunjukan tingkat fungsi sexual kembali sebagaimana sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

EFUSI PLEURA

A. Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat

B. Etiologi
• Adanya jantung
• adanya neoplasma
• tuberculosis paru
• infark paru
• trauma
• syndromanefrotik,

C. Tanda dan gejala
• Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
• Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk
• Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat
• Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

D. Pemeriksaan Diagnostik
• Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan melengkung
• Torakosentesis / fungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis.
• Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam (untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih.

E. Pemeriksaan Penunjang
• Drainase cairan jika efusi menimbulkan gejala subyektif seperti nyeri, dispneu
• Antobiotik jika terjadi empiema
• Pleurodesis
• Oparatif

GASTRITIS

1. Pengertian
Gastritis adalah inflamasi (pembengkakan) dari mukosa lambung termasuk gastritis erosiva yang disebabkan oleh iritasi, refluks cairan kandung empedu dan pankreas, haemorrhagic gastritis, infectious gastritis, dan atrofi mukosa lambung.

Gastritis lambung erosit suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosi. Disebut erosif apabila kerusakan ang terjadi tidak lebih dalam dari mukosa muskularis.penyakit ini dijumpai diklinik, dari akibat samping pemakaian obat, sebagai penyulit penyakit-penyakit lain atau karena sebab yang tidak diketahui

Gasteritis kronis ialah suatu peradangan bagian permukaan muksa lambung yang menahun (Hirlan, Theo Soeharjo 1990)

2. Etiologi
Gasteritis akut erosif dapat tmbul tanpa diketahui sebabnya.penyebab yang sering dijumpai ialah :
1. Obat analgetik anti inflamasi, terutama aspirin dalam dosis rendah sudah dapat menyebabkan erosi mukosa lambung.
2. Bahan kimi misalny lisol
3. Merokok
4. Alkohol
5. infeksi helicobacter pylori
6. Steres fisis yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis, trauma, pembeadahan, gagal pernafasan, gagal ginjal, kerusakan susunan saraf pusat.
7. Refluks usus lambung
8. Endotoksin
3. Manifestasi klinis (tanda dan gejala)

Penyakit ini bisa timbul mendadak yang biasanya ditandai dengan :
a) rasa mual dan muntah,
b) nyeri, perdarahan, rasa lemah,
c) nafsu makan menurun
d) sakit kepala.
e) hilangnya nafsu makan, rasa kenyang,
f) nyeri ulu hati yang samar-samar
g) diare
h) badan menjadi panas,
i) menggigil, dan
j) kejang otot
4. Patofisiologi
Mekanisme kerusakan mukosa pada gastritis diakibatkan oleh ketidak seimbangan antara faktor-faktor pencernaan, seperti asam lambung dan pepsin dengan produksi mukous, bikarbonat dan aliran darah.
Biasanya ringan, walaupun demikian kadang-kadang dapat menyebabkan kedaruratan medis, yakni perdarahan saluran cerna bagian atas. Penderita gasteritis yang mengalami perdarahan sering sering diagnosisnya tidak tercapai
Pada umumnya, penderita dengan gastritis dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya suatu luka dalam perut yang disebut ulkus peptikum.
Adanya ulkus yang timbul pada seseorang menjadikan orang tersebut menderita nyeri ulu hati yang sangat perih. Ulkus ini dapat terjadi pada dinding lambung. Dapat juga pada dinding usus halus atau duodenum.
pengaturan makanan dalam perut dilaksanakan oleh sejumlah hormon dan persyarafan yang ada di sepanjang sistem pencernaan. Adanya gangguan dari pengaturan syaraf dan hormonal inilah yang menyebabkan terjadinya luka ini,"
Kejadian ulkus peptikum seringkali berhubungan dengan peningkatan sekresi asam lambung dan menurunnya kemampuan duodenum dalam mengatasi asam lambung.
Penyebab penyakit ini dihubungkan dengan herediter, di mana orangtua juga punya penyakit serupa. Stres yang berkepanjangan pun merupakan penyebab karena meningkatnya hormon asetilkolin yang berperan dalam peningkatan produksi asam lambung. Itulah sebabnya penyakit ini dihubungkan dengan keadaan psikologis seseorang.

5. Patogenesis
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab gasttritis. Beberapa penyebab utama dari gastritis adalah Infeksi, iritasi dan reaksi autoimun. Infeksi dapat terjadi baik itu oleh bakteri ataupun virus. Iritasi dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti obat-obatan, alkohol, ekskresi asam lambung berlebihan,muntah kronis dan menelan racun.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan mukosa lambung. Faktor-faktor ini ialah:
1. kerusakan mukosa barrier sehingga difusi balik ion H meninggi.
2. perfusi mukosa lambung yang terganggu.
3. jumlah asam lambung merupakan faktor yang sangat penting

Faktor-faktor tersebut biasanya tidak berdiri sendiri misalnya stres fisis akan menyebabkan perfusi mukosa lambung terganggu, sehingga timbul daerah-daerah infark kecil. Disamping itu sekresi asam lambung juga terpacu. Mukosa barrier pada penderita sters fisis biasanya tidak akan terganggu. Hal itu membedakannya dengan gastritis erosif karena bahan kimia atau obat. Pada gaseteritis refluks, gasteritid karena bahn kimia atau obat. Pada gasteritis refluks, gasteritis karena bahan kimia, obat mucosal barrier rusak sehingga difusi balik ion H meninggi. Suasana asam yang terdapat pada lumen lambung akan mempercepat kerusakan mukosa barrier oleh cairan usus.

6. Diagnosis
Diagnosis gasteritis akut erosif, ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi biopsi mukosa lambung. Pemeriksaan radiologi biasa tidak mempunyai arti dan baru dapat membantu apabila digunakan kontrast ganda.
Pada pemeriksaan endoskopi akan tampak erosi multipel yang sebagian, biasanya tampak berdarah dan tersebar. Kadang-kadang dapat dijumpai erosi yang mengelompok pada satu daerah. Mukosa umumnya tampak merah. Kadang-kadang dijumpai daerah erosit yang ditemukan pada mukosa yang tampak normal. Pada saat pemeriksaan dapat dijumpai lesi yang terdiri dari aemua tingkatan perjalanan penyakitnya. Akibatnya pada saat itu tedapat erosi yang masih bersama-sama dengan erosi yang masih mengalam penyembuhan
Pada pemeriksaan histopatologik, kerusakkan mukosa karena erosi tidak pernah melewati mukosa muscularis. Ciri khas gasteritis erosif ialah sembuh sempurna dan terjadi dalam waktu yang relaif singkat. Oleh karena itu pemeriksaan endoskopi, sebaiknya dilakukan seawal mungkin

7. Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan terhadap gastritis bergantung pada penyebabnya. Pada banyak kasus gastritis, pengurangan dari asam lambung dengan bantuan obat sangat bermanfaat. Antibiotik digunakan untuk menghilangkan infeksi. Penggunaan dari obat-obatan yang mengiritasi lambung juga harus dihentikan. Pengobatan lain juga diperlukan bila timbul komplikasi atau akibat lain dari gastritis.
Pengobatan meliputi
1. mengatasi kedaruratanmedis yang terjadi
2. mengatasi atu menghindari penyebab apabila dapat dijumpai
3. pemberian obat-obatan H2 blocking, antasid atau obat-obat ulkus lambung yang lain
Kategori obat pada gastritis adalah:
• Antasid : menetralisir asam lambung dan menghilangkan nyeri
• Acid blocker : membantu mengurangi jumlah asam lambung yang diproduksi.
• Proton pump inhibitor : menghentikan produksi asam lambung dan menghambat H.pylori.
• Cytoprotective agent : melindungi jaringan mukosa lambung dan usus halus.

8. Komplikasi
Komplikasi yang penting adalah
1. perdarahan cairan cerna bagian atas yang mengurapakan kedaruratan mesdis Madang–kadang perdarahan cukup banyak sehingga dapat menyebabkan kematian.
2. terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat.
3. jarang terjadi perforasi

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIAGNOSIS GASTERITIS

1. pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis untuk pengumpulan data, menganalisa data dan menentukan diagnosa keperawatan (Depkes RI, 1999). Adapun data yang diperoleh pada klien dengan gangguan gastritis, adalah sbagi berikut : pasien berumur 5 tahun, aktifitas menurun, kurang energi (tenaga), pasien terlihat pucat, ada keluhan diare, mual, muntah, intake cairan dan nutrisi berkurang, adanya gangguan pencernaan, cegukan, rasa terbakar di tenggorokan, mual, muntah, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, tidak enak di perut bagian atas, muntah darah atau cairan berwarna coklat, ataupun terdapat darah saat buang air besar, pernafasan normal, tidak ada kenaikan suhu tubuh yang drastis. Perkemihan normal.

2. Diagnosa
Dari data tersebut diatas didapatkan rumusan masalah sehingga ditemukan diagnosa keperawatan diantaranya yaitu :
1. Resiko kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan diare dan berkurangnya intake cairan
2. Resiko kekurangan nutrisi, berhubungan dengan kurangnya intake nutrisi dan berkurangnya nafsu makan
3. Resiko gangguan pencernaan dan metabolisme : perdarahan pada lambung, berhubungan dengan muntah darah atau cairan berwarna

3. Perencanaan
Dalam menyusun rencana keperawatan, terlebih dahulu dirumuskan prioritas diagnosa keperawatan yang dapat ditentukan berdasarkan hirarki kebutuhan Abraham Maslow, berdasarkan berat ringannya masalah, mudah tidaknya diatasi serta berdasarkan core problem (masalah utama). Hal tersebut diatas tidak terlepas dari keadaan/kondisi klien saat menyusun rencana perawatan.

Adapun prioritas diagnosa keperawatan adalah :
1. Resiko kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan diare dan berkurangnya intake cairan
- Menghentikan diare yang dialami oleh pasien.
- Membantu memenuhi kebutuhan cairann pasien secara normal
- Membantu pasien agar dapat BAB secara normal dengan intensitas feces yang lembek

2. Resiko kekurangan nutrisi, berhubungan dengan kurangnya intake nutrisi dan berkurangnya nafsu makan
- Membantu pasien agar dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya secara mandiri
- mengembalikan dan meningkatkan nafsu makan pasien
- mengusahakan agar pasien dapat mengetahui fungsi dari makanan yang ia makan terhadap penyakitnya

3. Resiko gangguan pencernaan dan metabolisme : perdarahan pada lambung, berhubungan dengan muntah darah atau cairan berwarna coklat, dan terdapat darah saat buang air besar
- Berkolaborasi dengan ahli farmasi untuk Mengurangi resiko perperdarahan pada lambung dengan medika mentosa
- Memberikan makanan yang lunak agar mudah di cerna dan mengurangi cidera usus yang berlebih.
4. Pelaksanaan

1. Resiko kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan diare dan berkurangnya intake cairan

- Memberikan oralit kepada pasien untuk mengganti cairan dan menambah tenaga yang telah terbuang pada saat diare
- mengajarkan kepada pasien bagaimana cara memenuhi kebutuhn cairan dengan tepat
- Memberikan makanan yang mengandung karbohidrat tinggi kepada klien namun tetap lunak

2. Resiko kekurangan nutrisi, berhubungan dengan kurangnya intake nutrisi dan berkurangnya nafsu makan
- Melakukan kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemenuhan kebutuhan nutisi pasien
- Meminta kepada pasien untuk makan walaupun Cuma sedikit namun sering
- Menanyakan makanan apa yang disukai pasien untuk meningkatkan nafsu makannya
- Mengusahakan agar pasien dapat makan bersama dengan pasien lainnya dalam 1 bangsal guna meningkatkan nafsu makan.
- Menjelaskan kepada pasien dan orang tua pasien seberapa penting makan dapat membantu proses penyembuhan penyakitnya.
- Mengajarkan kepada orang tua pasien bagaimana cara memberikan makanan yang aman dikonsumsi oleh pasien

3. Resiko gangguan pencernaan dan metabolisme : perdarahan pada lambung, berhubungan dengan muntah darah atau cairan berwarna coklat, dan terdapat darah saat buang air besar
- menganjurkan kepada pasien untuk makan walaupun sedikit namun sering
- Sebelum makan pasien diminta untuk mengunyah antasida untuk mengurangi sekresi asam lambung yang dapat menyebabkan mual
- Mengkonsumsi obat yang dapat mengurangi cidera pada lambung
- Mengajarkan pada keluarga pasien untuk selalu mengingatkan pasien untuk makan dan minum obat secara teratur

5. Evaluasi
1. Tujuan tercapai : padahari ke-2 pasien sudah tidak mengalami diare dan klien sudah dapat memenuhi kebutuhan cairannya secara mandiri
2. Tujuan trcapai : klien sudah memiliki nafsu makan yang baik, pasien sudah dapat makan dengan terastur, kebutuhan nutrisi sudah mulai terpenuhi.
3. Tujuan tercapai : pasien sudah tidak mengalami muntah darah, atau cairan yang berwarna coklat, pasien sudah tidak mengalami muntah pada saat makan, Pasien juga BAB dengan normal.

DAFTAR PUSTAKA
Alimul Aziz, Uliyah Musrifatul. (2006). Keteramplan Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Lismidar , dkk. (2005). Proses Keperawatan. Yakarta : Universitas Indonesia
Nelson. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Vol. 2 Edisi 15. Jakarta : EGC
Soeparman, Waspadji Sarwono.(1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta: FKUI